APBD Tercekik: Dilema P3K, Batas Belanja Pegawai 30 Persen dan Masa Depan Pembangunan Daerah

4 hours ago 6

OPINI -   Sepanjang 2025, ruang rapat bupati dan wali kota di seluruh Indonesia dipenuhi wajah-wajah yang sama-sama muram. Bukan hanya membahas persoalan pengendalian inflasi yang dibahas seiap senin pagi dengan Kemendagri dan persipan program prioritas daerah/ nasional tetapi juga bagaimana mempertahankan 'napas fiskal' daerah ketika kewajiban anggaran baru terasa sulit. Pemerintah pusat menetapkan aturan tegas: seluruh tenaga non-ASN—khususnya Tenaga Harian Lepas (THL) dan honorer—harus diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Secara niat, kebijakan ini patut diapresiasi; ia menjanjikan kepastian status, kesejahteraan layak, dan pengakuan bagi mereka yang telah lama mengabdi. Namun, di balik niat baik itu, ada kenyataan pahit: APBD yang sebelumnya sudah sesak karena adanya kebijakan Pemerintah Pusat pengurangan DAU & DAK serta efisiensi Keuangan Daerah (Inpres No.1 thn 2025/KMK 29 thn 2025), kini nyaris kehilangan ruang bernapas.

Sebelum kebijakan PPPK berjalan, banyak daerah, khususnya yang Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya rendah, sudah menembus batas aman belanja pegawai yang diatur Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD)—yaitu 30 persen.

Kondisi ini seolah menjadi 'deja vu fiskaL'. Pada 2011, setelah transisi awal sistem penggajian PNS, belanja pegawai pernah melesat hingga 58 persen dari total APBD, sementara belanja modal merosot di bawah 22 persen. Ketimpangan itu membuat banyak daerah mengalami stagnasi pembangunan.

Kini, tren yang sama mengancam kembali: grafik fiskal menunjukkan dominasi belanja pegawai di angka 33–38 persen pada 2021–2023, melonjak menjadi 39, 2 persen pada realisasi 2024, sementara belanja modal tertahan di kisaran 15–16 persen. Dengan tambahan beban gaji PPPK, DIprediksi angkanya Tahun 2025-2026 melebihi 40?hkan bisa mendekati 50% , yang berarti pembangunan fisik dan sosial harus ditekan.

Di Parepare, Wali Kota Taufan Pawe mengaku harus menghitung ulang setiap rupiah agar visi pembangunan tidak tergerus. Bupati Bima, Hj. Indah Dhamayanti Putri, menegaskan kekhawatiran yang sama—bahwa jalan, jembatan, fasilitas kesehatan, dan program pengentasan kemiskinan bisa terhambat karena “porsi kue” APBD terlalu banyak dihabiskan untuk belanja pegawai.

Beban ini tidak hanya menggerus pembangunan infrastruktur, tetapi juga pelayanan publik esensial. Daerah dengan wilayah luas dan infrastruktur dasar yang belum memadai harus berhadapan dengan realitas pahit: status pegawai meningkat, tapi sarana pelayanan justru tidak bertambah, bahkan cenderung menurun kualitasnya. Situasi ironis ini menciptakan paradoks: aparatur pemerintahan bertambah, tetapi kemampuan negara melayani rakyat tidak ikut naik.

Meski kritik deras mengalir, pemerintah pusat tetap bersikukuh bahwa kebijakan ini adalah amanat UU ASN yang harus dijalankan tanpa pengecualian. Menteri PAN-RB memang menyebut adanya pembahasan skema pendanaan khusus, namun hingga kini belum ada formula transisi fiskal yang benar-benar membantu daerah bernapas. Tanpa dukungan itu, terutama bagi daerah rentan, APBD berpotensi berubah menjadi “rekening gaji massal”—bukan lagi instrumen pembangunan.

Beberapa kepala daerah mencoba mengambil langkah penyelamatan, mulai dari menunda perekrutan PPPK dalam jumlah besar hingga merestrukturisasi birokrasi untuk mengurangi tumpang tindih jabatan. Namun, langkah ini sering kali memicu protes dari tenaga honorer yang merasa dirugikan, serta tekanan politik dari DPRD dan kelompok kepentingan lokal. Situasi ini memperlihatkan bahwa masalah P3K bukan sekadar soal administrasi, tetapi juga medan tarik-ulur antara kepentingan populis, kebutuhan fiskal, dan tuntutan politik.

Sejumlah usulan solusi mulai mengemuka. Ada yang mendorong agar transisi pengangkatan dilakukan bertahap, dimulai dari formasi kritis seperti guru dan tenaga kesehatan. Ada pula yang mengusulkan subsidi gaji dari APBN untuk daerah dengan PAD rendah, atau perampingan birokrasi yang diiringi digitalisasi pelayanan publik. Peningkatan PAD melalui optimalisasi pajak daerah, retribusi berbasis teknologi, dan penguatan BUMD juga dianggap langkah mendesak.

Namun, semua ini tidak mudah, Kepala daerah diharapkan mampu mengomunikasikan tantangan ini kepada masyarakat dan pemerintah pusat, sehingga kebijakan yang diambil tidak hanya populis tetapi juga realistis secara fiskal. membutuhkan keberanian politik, kerja keras dalam meningkatkan PAD, koordinasi erat pusat-daerah, dan komitmen jangka panjang.

Pada akhirnya, kebijakan PPPK seharusnya menjadi langkah maju bagi pelayanan publik, bukan jerat yang membuat daerah mati gaya dalam membangun. Jika kebijakan tidak disertai solusi fiskal yang konkret, risiko terbesar bukan hanya stagnasi pembangunan, tetapi juga runtuhnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Dalam dunia birokrasi, mengangkat status pegawai memang penting, tapi menjaga agar rakyat tetap mendapat manfaat nyata dari APBD juga tak kalah penting.

 Oleh: Indra Gusnady

Read Entire Article
Karya | Politics | | |