KETAPANG - Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Ketapang kini berada di pusaran sorotan tajam. Muncul dugaan kuat bahwa institusi ini telah menjadi sarang praktik mafia tanah dan percaloan, menyusul serangkaian konflik agraria yang tak kunjung menemui titik terang, serta banyaknya keluhan masyarakat yang merasa dipersulit dalam mengurus hak atas tanah mereka.
Konflik antara warga dan perusahaan, serta sengketa antarwarga yang disebabkan oleh tumpang tindih sertifikat, menjadi indikasi persoalan mendalam dalam tata kelola pertanahan di Ketapang. Investigasi yang dilakukan oleh jurnalis mengungkap dugaan keterlibatan oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan celah birokrasi untuk kepentingan pribadi maupun jaringan percaloan.
Bayangkan, bertahun-tahun menabung dan berjuang untuk memiliki sebidang tanah, lalu ketika mengurus legalitasnya justru dipermainkan. Itulah yang dirasakan Arif, warga Kecamatan Simpang Hulu. Kekecewaannya memuncak dan ia menumpahkannya di media sosial.
"Susah benar berurusan dengan BPN Ketapang, sudah tiga tahun ngurus pemecahan sertifikat tak kunjung selesai, coba nelpon dan chat pihak BPN tapi tidak di respon, " tulis Arif dalam postingannya yang viral dan dibanjiri komentar senada dari warga lain.
Ironisnya, setelah unggahan itu viral dan menjadi perbincangan hangat, barulah pihak BPN Ketapang menghubungi Arif dan menjanjikan percepatan proses.
"Maaf tadi malam petugas BPN udah nelepon ke saya, kalau dia udah di telfon atasan berkas udah di pegang udah ketemu alasan sebelumnya dia bilang berkas tidak ketemu. Jadi saya mau nengok kedepan kalau tidak lanjuti ya udah" ungkap Arif saat dikonfirmasi awak media.
Lambatnya proses pengurusan tanah di BPN Ketapang bukan satu-satunya masalah. Beberapa warga juga mengeluhkan adanya dugaan praktik pungutan liar (pungli). Mereka mengaku diminta untuk membayar "uang tambahan" di luar tarif resmi yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Mirisnya, meski sudah mengeluarkan biaya lebih dari yang seharusnya, banyak dari mereka yang tetap tidak mendapatkan kepastian kapan sertifikat tanah akan diterbitkan.
"Kami seperti dijadikan sapi perah. Bayar lebih, tapi tetap tidak selesai, " keluh salah seorang warga Desa Sungai Melayu yang memilih untuk tidak menyebutkan namanya karena khawatir.
Menanggapi keluhan warga yang semakin meluas, Mahmud Khusairi, salah satu staf BPN Ketapang, menyayangkan aksi warga yang menyuarakan protes mereka melalui media sosial.
"Kami mohon, kalau ada keluhan, sampaikan langsung ke kantor kami, jangan dulu di media sosial, " ujar Mahmud, Rabu (16/7/2025).
Mahmud juga menegaskan bahwa biaya yang berlaku di BPN Ketapang sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada biaya tambahan, menurutnya, kemungkinan besar itu adalah ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Ia juga mengakui bahwa program reformasi internal yang dicanangkan oleh Kepala BPN sebelumnya, Antonius, belum berjalan secara efektif.
"Kami akui, masih ada oknum yang bermain di dalam. Harapan kami, kepala BPN yang baru bisa membawa perubahan, " imbuhnya.
Upaya konfirmasi langsung telah dilakukan kepada Herculanus Richardo Lassa, Kepala Kantor BPN Ketapang yang baru saja menggantikan Antonius. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada respons resmi yang diberikan dengan alasan masih dalam masa transisi jabatan.
Melihat semakin banyaknya laporan dan keluhan dari masyarakat, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan aktivis agraria mendesak agar Kementerian ATR/BPN segera melakukan audit menyeluruh terhadap kinerja dan praktik yang terjadi di BPN Ketapang. Mereka juga menuntut pembentukan tim investigasi independen yang bertugas untuk mengusut tuntas dugaan praktik mafia tanah, percaloan, dan pungutan liar yang telah merugikan masyarakat kecil.
"Ini bukan sekadar masalah pelayanan yang buruk, tetapi ini adalah soal hak dasar atas tanah dan keadilan bagi warga, " tegas seorang aktivis agraria dari Ketapang yang turut mendampingi warga yang menjadi korban konflik.
Kini, masyarakat Ketapang menantikan gebrakan nyata dari pimpinan BPN yang baru. Bukan sekadar pernyataan normatif, melainkan tindakan tegas dan reformasi pelayanan yang dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga yang seharusnya menjadi penjamin kepastian hukum agraria ini.