PAPUA - Jelang peringatan 1 Juli, yang selama ini diklaim sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) Organisasi Papua Merdeka (OPM), sejumlah tokoh adat Papua dengan tegas menolak perayaan tersebut. Mereka menilai tanggal tersebut lebih tepat dijadikan sebagai pengingat atas penderitaan panjang yang dialami oleh rakyat Papua akibat kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis tersebut.
Salah satu suara penolakan datang dari Ketua Dewan Adat Wilayah Tabi, Yustus Nawipa, yang mengungkapkan bahwa OPM telah kehilangan arah perjuangan dan lebih banyak menyisakan luka bagi masyarakat Papua. “Sudah cukup banyak darah yang tertumpah karena kekerasan yang mengatasnamakan kemerdekaan. Mereka tidak lagi bicara soal martabat rakyat Papua, malah membuat rakyat jadi korban, ” tegas Yustus dalam pernyataan persnya pada Sabtu (28/6/2025).
Menurut Yustus, tanggal 1 Juli bukanlah hari kemerdekaan, melainkan awal dari konflik yang terus mengorbankan Orang Asli Papua (OAP). Ia menekankan bahwa mayoritas masyarakat adat di Papua tidak mengakui OPM sebagai representasi dari aspirasi rakyat, karena tindakan mereka didominasi oleh kekerasan dan ancaman terhadap warga sipil.
Tokoh adat lainnya, Markus Douw dari wilayah La Pago, juga mengecam keras rencana perayaan 1 Juli oleh simpatisan OPM. “Kami tidak butuh pesta darah. Kami butuh kedamaian, pendidikan, dan pembangunan untuk masa depan anak-anak Papua, ” ujar Markus, menambahkan bahwa perayaan tersebut hanya akan memperburuk ketenangan masyarakat dan merusak harapan akan masa depan yang lebih baik.
Riko Wenda, tokoh pemuda dari Pegunungan Tengah, turut mengungkapkan bahwa generasi muda Papua kini sudah kehilangan kepercayaan terhadap OPM. “Perjuangan yang membenarkan pembunuhan, penyanderaan, dan pembakaran fasilitas umum bukanlah perjuangan yang bermartabat. Kami lebih memilih jalan damai dan pembangunan. Kita tak bisa terus hidup dalam ketakutan, ” katanya.
Selain itu, penolakan terhadap 1 Juli juga disampaikan oleh kalangan gereja. Pdt. Yakob Kobak dari Gereja Baptis Papua menegaskan bahwa gereja tidak akan mendukung kegiatan apapun yang berujung pada kekerasan dan ancaman terhadap umat. “Kami tidak melihat hasil perjuangan OPM selain penderitaan. Tidak ada keadilan yang lahir dari moncong senjata, ” ujarnya dengan tegas.
Seruan para tokoh adat, pemuda, dan agama ini mencerminkan kehendak rakyat Papua yang semakin kuat untuk melepaskan diri dari lingkaran kekerasan yang sudah terlalu lama mewarnai tanah Papua. Mereka menginginkan pembangunan, perdamaian, dan persatuan sebagai masa depan sejati, dan menegaskan bahwa 1 Juli seharusnya tidak dijadikan hari perayaan, melainkan hari refleksi atas penderitaan yang terus dirasakan oleh rakyat Papua. (Red)