OPINI - Saat dunia cemas menghadapi bayang-bayang resesi global, Indonesia masih mencatat pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil. Badan Pusat Statistik melaporkan ekonomi nasional tumbuh 4, 87 persen pada kuartal I 2025. Namun, di balik angka-angka makro yang tampak menjanjikan, ada realitas lain yang tak selalu terdengar: UMKM di daerah terus berjuang menjaga nyala usahanya agar tak padam.
Di pasar tradisional, warung-warung kecil, dan bengkel rumahan, cerita tentang harga bahan baku yang melambung, pelanggan yang menurun, dan daya beli yang melemah menjadi keseharian yang akrab. William Putra, pemilik kedai kopi sederhana di Sidoarjo, misalnya, mengatakan bahwa harga susu impor naik 40 persen dalam tiga bulan terakhir, sementara pelanggannya makin sepi. “Dulu bisa tutup jam 10 malam, sekarang jam 8 saja sudah tidak ada yang datang, ” ujarnya.
Padahal, merekalah yang disebut-sebut sebagai tulang punggung ekonomi nasional. UMKM menyumbang 61 persen dari Produk Domestik Bruto Indonesia dan menyerap 117 juta tenaga kerja, atau sekitar 97 persen dari total lapangan kerja nasional, menurut data Kadin. Tapi sebagian besar dari mereka masih berjuang di level paling bawah—bertahan hidup dari hari ke hari, tanpa jaminan keberlanjutan.
Pemerintah memang telah menggelontorkan berbagai kebijakan untuk membantu mereka: suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) diturunkan menjadi 3 persen, pajak penghasilan UMKM mikro dibebaskan, dan pelatihan digital digelar secara luas. Hingga Maret 2025, realisasi penyaluran KUR telah mencapai Rp44, 73 triliun kepada lebih dari satu juta debitur. Namun, efektivitas kebijakan ini masih jadi tanda tanya di lapangan. Banyak pelaku usaha kecil yang bahkan tidak tahu cara mengakses KUR, atau menyerah di tengah jalan karena syaratnya terlalu rumit.
Digitalisasi yang digembar-gemborkan juga belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan. Menurut Bank Indonesia, transaksi e-commerce justru menurun 7, 2 persen pada kuartal I 2025, menunjukkan bahwa pelatihan online dan marketplace tidak serta-merta menaikkan omzet. Akses internet yang lemah di daerah, keterbatasan alat, dan belum siapnya pelaku usaha dalam memahami algoritma pasar digital menjadi tantangan yang nyata.
Di sisi lain, harga bahan baku terus naik. Nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh Rp17.100 per dolar AS membuat biaya impor melonjak. Biaya logistik naik 20 persen, dan inflasi global membuat bahan pokok makin sulit dijangkau. Para pengusaha kecil, seperti produsen keripik di Padang atau perajin rotan di Tasikmalaya, banyak yang harus memangkas produksi atau menaikkan harga, dengan risiko kehilangan pelanggan.
Mereka butuh lebih dari sekadar pelatihan atau bantuan tunai. Mereka butuh sistem pendukung: koperasi yang aktif, BUMDes yang kuat, jalur distribusi yang efisien, serta akses kredit yang tidak mempersulit. Mereka juga butuh pendampingan, bukan hanya sekali datang dan hilang. Kebijakan yang baik saja tidak cukup; eksekusi yang tepat sasaran jauh lebih penting.
Meski begitu, harapan tetap ada. Di Payakumbuh, pengusaha rendang skala rumahan berhasil menembus pasar ekspor setelah mendapat pendampingan koperasi lokal. Di Banyuwangi, kelompok petani kopi masuk ke e-katalog pengadaan pemerintah daerah setelah didampingi oleh perguruan tinggi setempat. Ini menunjukkan bahwa dengan kolaborasi yang tepat, UMKM bisa naik kelas.
Krisis memang tak bisa dihindari, tapi dampaknya bisa dikelola. Dan cara terbaik melakukannya adalah dengan memperkuat fondasi ekonomi lokal. Jangan hanya menyalurkan stimulus dari pusat, tapi pastikan bahwa pemerintah daerah juga hadir—memberi dukungan nyata, menyederhanakan prosedur, dan membuka jalur distribusi serta pasar baru.
Karena sesungguhnya, ketahanan ekonomi bukan hanya soal angka-angka pertumbuhan. Ia adalah tentang apakah warung kopi di pinggir kota masih bisa buka besok pagi. Tentang apakah perajin bambu di desa bisa terus menganyam, dan apakah pedagang kecil masih punya alasan untuk tetap berdagang.
Resesi global mungkin datang, tapi selama kita merawat ekonomi dari pinggir—dari tempat paling nyata kehidupan berlangsung—kita akan tetap berdiri. UMKM bukan objek belas kasih, mereka adalah subjek perubahan. Dan jika diberi kesempatan yang adil, mereka bisa membawa kita semua keluar dari badai, menuju masa depan yang lebih mandiri.
Oleh: Indra Gusnady, SE, M.Si