OPINI - Naiknya angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kerap dirayakan sebagai bukti keberhasilan pembangunan daerah. Grafik ekonomi naik, investasi masuk, dan pembangunan dianggap berhasil. Tapi pertanyaannya: apakah semua pertumbuhan itu benar-benar kemajuan?
Di daerah-daerah kaya sumber daya seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, sektor tambang jadi penyumbang besar PDRB. Namun, di balik statistik yang mengilap, tersembunyi kisah-kisah getir: sungai mengering, sawah gagal panen, udara berdebu logam berat, dan anak-anak kehilangan ruang bermain. Angka boleh naik, tapi luka ekologis dan sosial tak pernah masuk perhitungan.
Selama ini, PDRB hanya menghitung nilai produksi barang dan jasa. Ia buta terhadap kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan degradasi ekosistem. Ketika izin tambang berakhir, investor pergi. Yang tersisa hanyalah tanah rusak, air tercemar, dan beban perbaikan yang terlalu besar untuk ditanggung APBD.
Ironisnya, kebijakan tambang adalah kewenangan nasional. Pemerintah daerah kerap tak punya suara dalam perizinan, tapi harus menanggung dampak ekologis dan sosialnya. Mereka menerima sebagian dana bagi hasil (DBH), tapi memikul seluruh konsekuensi yang ditinggalkan.
𝑃𝐷𝑅𝐵 𝐺𝑟𝑒𝑒𝑛: 𝐾𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖 𝑎𝑡𝑎𝑠 𝐾𝑒𝑚𝑎𝑗𝑢𝑎𝑛 𝑆𝑒𝑚𝑢
Sudah saatnya paradigma pembangunan diubah. Kita butuh PDRB Green—indikator ekonomi yang menginternalisasi kerusakan lingkungan dan nilai sumber daya yang hilang.
Menurut Prof. Emil Salim, Guru Besar Ekonomi Lingkungan IPB, “pertumbuhan ekonomi yang merusak daya dukung lingkungan adalah bom waktu pembangunan.” Ia menekankan perlunya integrasi nilai ekologis dalam perhitungan ekonomi makro.
Ekonom dunia Prof. Jeffrey Sachs bahkan mendorong agar negara-negara berkembang meninggalkan indikator tunggal seperti GDP, dan beralih ke indeks keberlanjutan yang mencakup keseimbangan sosial, ekologi, dan ekonomi.
𝑷𝙚𝒏𝙙𝒆𝙠𝒂𝙩𝒂𝙣 𝙋𝒆𝙧𝒉𝙞𝒕𝙪𝒏𝙜𝒂𝙣 𝙋𝑫𝙍𝑩 𝑮𝙧𝒆𝙚𝒏
Dalam praktiknya, PDRB Green mengintegrasikan 'natural resource accounting' (penghitungan nilai kekayaan alam) dan 'environmental cost accounting' (penghitungan biaya kerusakan lingkungan) ke dalam sistem ekonomi makro.
Ada tiga pendekatan utama yang digunakan secara global:
- Adjusted Net Savings (ANS) – yang dikembangkan oleh Bank Dunia, menghitung investasi bersih setelah dikurangi depresiasi modal fisik dan sumber daya alam.
- 'Inclusive Wealth Index' (IWI) – mencakup nilai modal manusia, modal fisik, dan modal alam sebagai indikator kesejahteraan jangka panjang.
- 'Green GDP' – mengurangi GDP/PDRB konvensional dengan estimasi kerusakan lingkungan dan biaya pemulihan sumber daya alam.
Dengan pendekatan ini, sebuah daerah yang PDRB-nya naik karena tambang akan dikoreksi nilainya jika ada hutan yang rusak, sungai yang tercemar, atau keanekaragaman hayati yang hilang. Sebaliknya, daerah yang menjaga tutupan hutan, mempertahankan kualitas air, dan membangun ekonomi berbasis komunitas bisa mendapatkan nilai lebih karena berkontribusi terhadap keberlanjutan jangka panjang.
Beberapa negara sudah memulainya. Bhutan dengan Gross National Happiness, Selandia Baru dengan Wellbeing Budget, Uni Eropa dengan Beyond GDP, dan Tiongkok yang mulai menerapkan Green GDP di tingkat provinsi.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Menurut laporan Bank Dunia (2023), kerugian ekologis akibat tambang tak berkelanjutan mencapai Rp64 triliun per tahun—belum termasuk biaya sosial dan risiko bencana yang tidak tercatat dalam PDRB.
𝐷𝑎𝑟𝑖 𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑗𝑢 𝑀𝑎𝑘𝑛𝑎
PDRB Green bukan hanya indikator baru. Ia adalah penanda arah. Daerah yang melindungi hutannya, menjaga air tanahnya, dan membangun ekonomi berbasis komunitas juga layak disebut maju—meskipun tak tercermin dalam angka spektakuler.
Inilah saatnya berhenti mengejar angka kosong yang mengilusi. Mari menata ulang indikator, memulihkan logika pembangunan, dan mengembalikan martabat daerah sebagai rumah, bukan sekadar lumbung sumber daya.
PDRB Green adalah jalan pulang. Pulang ke kesadaran, bahwa pembangunan sejati tak hanya tentang pertumbuhan, tapi tentang keberlanjutan.
Oleh: Indra Gusnady, SE, M.Si