OPINI - Bayangkan seorang warga di pelosok Indonesia melaporkan jalan rusak lewat ponsel. Laporannya langsung diterima sistem, dipilah otomatis, diteruskan ke dinas terkait, dan tidak lama kemudian, perbaikan dimulai. Bukan khayalan, ini adalah kenyataan yang mulai terwujud di beberapa daerah di Indonesia dengan bantuan kecerdasan buatan, atau yang lebih dikenal sebagai artificial intelligence (AI).
Teknologi yang dulu kita kenal lewat film fiksi ilmiah kini perlahan masuk ke ruang-ruang pemerintahan. Di Jakarta, aplikasi JAKI menggunakan sistem berbasis AI untuk merespons ribuan laporan warga secara cepat. Di Banyuwangi, data keluarga miskin diolah oleh algoritma cerdas sehingga bantuan sosial bisa lebih tepat sasaran. Semarang menggabungkan informasi cuaca, lalu lintas, dan pengaduan warga untuk mengantisipasi banjir dan kemacetan secara lebih dini.
Apa yang terjadi di Indonesia bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Di berbagai belahan dunia, AI telah lebih dulu digunakan untuk memperkuat kerja pemerintah. Kota Hangzhou di Tiongkok menggunakan sistem bernama City Brain yang mampu mengatur lalu lintas secara real time, menurunkan tingkat kemacetan dan mempercepat respons layanan darurat. Di Estonia, lebih dari 80 persen layanan publik dilakukan secara digital, dari mengurus izin usaha, pindah alamat, hingga pelayanan pendidikan. Pemerintah Korea Selatan bahkan menggunakan AI untuk memantau kondisi lansia yang tinggal sendiri dan secara otomatis menghubungkan mereka ke layanan darurat jika terdeteksi risiko.
Semua ini menegaskan satu hal: AI bukanlah teknologi dingin yang menjauhkan pemerintah dari rakyat. Sebaliknya, AI bisa mendekatkan pelayanan kepada warga, membuat proses lebih cepat, lebih tepat, dan lebih transparan. Teknologi ini memungkinkan pemerintah, terutama di daerah, untuk bergerak lebih efisien, di tengah sumber daya manusia yang terbatas dan tantangan birokrasi yang berlapis.
Di tengah kebutuhan akan layanan publik yang cepat dan merata, AI dapat membantu pemerintah daerah menjawab tuntutan masyarakat dengan lebih baik. Bukan untuk menggantikan peran aparatur sipil negara, tapi untuk memperkuatnya. Sistem cerdas bisa menangani laporan warga 24 jam nonstop, menyaring informasi, dan menyajikan rekomendasi berdasarkan data. Pegawai bisa fokus pada keputusan dan tindakan, bukan lagi tenggelam dalam tumpukan dokumen atau proses manual yang menyita waktu.
Tentu, pemanfaatan AI tak bisa serta-merta. Dibutuhkan kesiapan infrastruktur, pelatihan sumber daya manusia, dan pengelolaan data yang aman dan etis. Perubahan ini tidak bisa dipaksakan dari atas, tetapi membutuhkan komitmen bersama, kolaborasi antara pemerintah daerah, universitas, pelaku teknologi lokal, dan masyarakat. Pemerintah pusat pun perlu hadir sebagai penyusun pedoman nasional yang mengarahkan pemanfaatan AI dalam pemerintahan secara bertanggung jawab dan adil.
Karena pada akhirnya, teknologi adalah alat. Nilainya bergantung pada tangan siapa ia dikelola dan untuk tujuan apa ia diarahkan. Pemerintahan cerdas bukan hanya soal sistem yang canggih, melainkan keberanian untuk berubah demi melayani lebih baik. Bukan seberapa mutakhir alat yang digunakan, tetapi seberapa besar dampak yang dirasakan masyarakat.
Kita sedang menghadapi era baru pelayanan publik. Era di mana warga tak perlu lagi antre panjang, tak perlu menunggu jawaban yang tak pasti, dan tak harus berhadapan dengan proses rumit yang melelahkan. Dengan AI, pelayanan bisa lebih manusiawi: cepat, adil, dan menjangkau mereka yang paling membutuhkan.
Maka, saatnya kita membuka diri. Pemerintah daerah tidak harus langsung menjadi Estonia atau Seoul. Cukup mulai dari langkah kecil: membenahi data, mempercepat proses, dan membangun sistem yang responsif. Perlahan, namun pasti, pelayanan publik akan berubah. Lebih cerdas. Lebih dekat. Lebih memihak rakyat.
Oleh: Indra Gusnady, SE, M.Si