PUNCAK - Sebuah tragedi kemanusiaan kembali menimpa kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dua anggotanya dari Kodap XXVII Sinak, yakni Alerid Murip dan Kembali Murip, ditemukan tewas dalam kondisi menyedihkan di dalam sebuah honai (rumah tradisional Papua) di Kampung Gunalu, Distrik Sinak, pada Minggu (27/7/2025). Keduanya meninggal dunia setelah tidak mendapatkan akses layanan kesehatan saat mengalami kondisi sakit parah.
Peristiwa memilukan ini menjadi potret nyata bagaimana kebijakan internal OPM yang menolak kehadiran tenaga medis dan fasilitas pemerintah justru berbalik menyengsarakan bahkan merenggut nyawa anggota mereka sendiri.
Ditolak Berobat, Ditinggal Mati Perlahan
Berdasarkan keterangan sejumlah warga yang sempat menyaksikan kondisi mereka sebelum meninggal, Alerid dan Kembali Murip telah lama mengalami sakit dan luka-luka, yang diduga berkaitan dengan aktivitas militer mereka di hutan. Namun, kelompok OPM melarang keras anggotanya untuk mendapatkan pengobatan dari fasilitas pemerintah maupun tenaga kesehatan dari luar.
Yulius Murib, tokoh masyarakat Distrik Sinak, mengungkapkan bahwa kematian kedua pemuda tersebut sebenarnya bisa dicegah jika kelompok OPM mau membuka diri terhadap pelayanan publik.
“Kalau mereka tidak menolak dokter dan tenaga medis, mungkin dua anak muda itu bisa diselamatkan. Tapi karena terlalu takut dan penuh kecurigaan, mereka justru membiarkan saudara sendiri mati perlahan, ” ujarnya prihatin.
Yulius menambahkan, tindakan OPM menolak kehadiran fasilitas kesehatan sama saja seperti menolak hak dasar untuk hidup.
OPM Dihadapkan pada Konsekuensi dari Sikap Tertutup Sendiri
Peristiwa ini menjadi pukulan telak terhadap retorika perjuangan yang selama ini diklaim oleh OPM. Di satu sisi mereka mengaku berjuang untuk rakyat Papua, namun di sisi lain, menutup akses rakyat dan anggotanya sendiri terhadap pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.
Kedua korban diketahui pernah terlibat dalam sejumlah aksi kekerasan bersenjata dan mengalami luka-luka yang tidak pernah ditangani secara medis. Saat kondisi mereka memburuk, tak ada pertolongan, tak ada perawatan, dan akhirnya nyawa pun tak tertolong.
Warga setempat menyebutkan bahwa honai tempat keduanya meninggal sering dijadikan tempat persembunyian kelompok OPM. Setelah ditemukan dalam kondisi sekarat, tidak ada bantuan medis yang diberikan, karena dokter dan perawat pun takut mendekat akibat intimidasi yang selama ini dilakukan kelompok bersenjata tersebut.
Tragedi yang Mengungkap Kebuntuan Ideologi
Apa yang dialami Alerid dan Kembali Murip bukan hanya kisah duka kemanusiaan, melainkan cermin dari gagalnya sistem yang dijalankan kelompok OPM. Ketika perjuangan berubah menjadi penolakan terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan, maka yang tertinggal hanyalah penderitaan dan kematian sia-sia.
Peristiwa ini juga menandai kontradiksi dalam gerakan separatis OPM. Mereka mengaku memperjuangkan nasib rakyat, tapi justru menutup akses rakyat terhadap hak-hak dasar yang sangat dibutuhkan.
Papua Butuh Kehidupan, Bukan Ketakutan
Tragedi kematian dua anggota OPM ini membuka mata banyak pihak bahwa isolasi ideologis dan kebencian terhadap pelayanan publik adalah racun bagi masa depan Papua. Tak hanya menyengsarakan warga sipil, kini kebijakan ekstrem itu juga memakan korban dari dalam kelompok mereka sendiri.
“Ini peringatan bagi kita semua. Jangan sampai kebencian terhadap pemerintah membuat kita membunuh diri kita sendiri, ” tegas Yulius.
(Apk/Red1922)