PAPUA - Aksi kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menyisakan luka mendalam bagi masyarakat Papua. Ironis dan memilukan, kelompok yang mengklaim berjuang untuk rakyat Papua justru menggunakan uang hasil pemalakan terhadap warga sipil untuk membiayai aksi-aksi kekerasan bahkan hingga menewaskan warga Papua sendiri.
Sejumlah tokoh adat dan warga di wilayah pegunungan Papua mengungkap bahwa pemalakan oleh OPM telah menjadi teror harian. Warga yang melintasi jalur tertentu dipaksa membayar uang “jalan” dengan ancaman kekerasan jika menolak.
“Setiap lewat disuruh bayar. Ada yang minta Rp50 ribu, ada yang Rp100 ribu. Kalau tidak bayar, kami dipukul. Pernah ada yang ditembak, ” ujar seorang warga Kabupaten Nduga yang enggan disebutkan namanya demi keselamatan, Sabtu (17/5/2025).
Dana hasil pemalakan tersebut tak digunakan untuk membangun atau membantu rakyat, melainkan untuk membeli amunisi, senjata rakitan, hingga logistik perang. Lebih kejam lagi, dana itu turut mendanai aksi-aksi penyerangan terhadap warga sipil Papua yang dianggap membangkang atau menolak mendukung gerakan mereka.
Salah satu kasus paling tragis terjadi di Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga. Seorang kepala kampung yang dikenal menentang praktik pemerasan ditemukan tewas dengan luka tembak di dada. Korban sebelumnya dilaporkan sempat mengadukan aksi OPM kepada aparat keamanan, sebelum akhirnya menghilang dan ditemukan dalam kondisi mengenaskan.
“Ini sungguh memilukan. Mereka bilang berjuang untuk rakyat Papua, tapi justru membunuh rakyatnya sendiri. Di mana letak perjuangannya?” ujar Pendeta Markus Tabuni, tokoh gereja dari Lanny Jaya.
Senada, tokoh adat dari Yahukimo, Menase Wonda, menyatakan bahwa warga kini mulai sadar bahwa OPM tidak lagi menjadi pelindung rakyat, melainkan ancaman bagi kehidupan mereka.
“Dulu kami kira mereka bela kami. Sekarang kami tahu, mereka cuma sembunyi di balik kami, minta uang, dan bikin kami sengsara, ” tegasnya.
Masyarakat Papua sejatinya menginginkan hidup damai, anak-anak yang bisa sekolah tanpa rasa takut, serta kehidupan yang tenteram dan sejahtera. Namun ulah segelintir kelompok bersenjata justru menciptakan lingkaran kekerasan yang menjauhkan mereka dari cita-cita itu.
Situasi ini menjadi peringatan serius bahwa kekerasan yang mengatasnamakan perjuangan justru berbalik menjadi alat penindasan terhadap masyarakat yang seharusnya dilindungi. Papua butuh damai, bukan darah. (***/Red)