PEMERINTAHAN - Salah satu tuntutan paling fundamental dalam Reformasi 1998 adalah penghapusan Dwi Fungsi ABRI, doktrin yang memberi peran ganda kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri)—dulu masih dalam satu institusi bernama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia)—baik sebagai alat pertahanan negara maupun sebagai aktor politik yang turut serta dalam pemerintahan.
Tuntutan ini lahir dari pengalaman panjang Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, di mana militer tidak hanya menguasai sektor keamanan tetapi juga memiliki cengkeraman dalam birokrasi dan politik sipil.
Meskipun secara resmi Dwi Fungsi ABRI telah dihapus melalui reformasi kelembagaan pada awal 2000-an, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa semangat intervensi militer dalam politik masih belum sepenuhnya hilang. Hal ini menjadi perhatian serius bagi demokrasi di Indonesia. Apakah benar Dwi Fungsi ABRI telah mati, ataukah ia hanya berganti rupa dalam bentuk yang lebih halus?
Dwi Fungsi ABRI: Masa Lalu yang Membentuk Masa Kini
Dwi Fungsi ABRI pertama kali muncul sebagai kebijakan resmi pada era Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Sukarno. Namun, di era Soeharto, doktrin ini menjadi lebih sistematis dan terstruktur.
Militer tidak hanya menjadi alat negara dalam pertahanan dan keamanan, tetapi juga memiliki kursi dalam pemerintahan, legislatif, dan berbagai lembaga negara lainnya. Struktur politik Orde Baru dirancang sedemikian rupa sehingga posisi militer menjadi dominan dalam pengambilan keputusan strategis.
Pada puncaknya, ABRI menempatkan personel aktif di berbagai lini pemerintahan, dari pusat hingga daerah. Tidak hanya menduduki jabatan menteri, gubernur, dan bupati, tetapi juga hadir dalam parlemen dengan jatah kursi di DPR dan MPR yang diberikan tanpa pemilihan. Ini membuat supremasi sipil nyaris tidak ada, karena keputusan-keputusan penting tetap berada di tangan militer.
Reformasi 1998 akhirnya mendorong pemisahan TNI dan Polri pada tahun 1999, serta penghapusan kursi militer di parlemen pada 2004. Namun, apakah ini cukup untuk benar-benar menghapus pengaruh militer dalam politik dan pemerintahan?
Militer dan Politik Pasca Reformasi: Bayang-Bayang Dwi Fungsi yang Belum Hilang
Setelah reformasi, militer memang tidak lagi memiliki kursi resmi di DPR dan MPR, tetapi perannya dalam politik dan pemerintahan tidak sepenuhnya sirna. Beberapa indikasi bahwa semangat Dwi Fungsi masih bertahan antara lain:
1. Kembalinya Perwira Aktif ke Jabatan Sipil: Meskipun reformasi menegaskan bahwa militer harus fokus pada tugas pertahanan, banyak perwira aktif yang kembali menduduki jabatan sipil strategis. Pada era pemerintahan Joko Widodo misalnya, sejumlah perwira tinggi TNI diangkat menjadi pejabat di kementerian dan lembaga non-militer, seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, hingga Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan.
2. Peran Militer dalam Keamanan Dalam Negeri: Reformasi telah menetapkan bahwa urusan keamanan dalam negeri adalah tanggung jawab Polri, sementara TNI hanya boleh dikerahkan dalam keadaan darurat tertentu dengan persetujuan politik. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa TNI masih sering dilibatkan dalam urusan sipil, seperti penanganan demonstrasi, proyek pengamanan tertentu, hingga keterlibatan dalam operasi pemberantasan terorisme dan narkotika.
3. Kebijakan "Perwira Aktif Bisa Menduduki Jabatan Sipil": Salah satu kebijakan kontroversial yang kembali menghidupkan semangat Dwi Fungsi adalah upaya merevisi Undang-Undang TNI agar perwira aktif dapat kembali menduduki jabatan sipil tanpa harus pensiun. Jika ini terjadi, maka penghapusan Dwi Fungsi hanya akan menjadi formalitas belaka.
4. Kecenderungan "Militerisasi" Pemerintahan: Dalam beberapa tahun terakhir, terlihat kecenderungan bahwa pemimpin dari kalangan sipil cenderung menggandeng figur-figur militer dalam jajaran kabinetnya. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: apakah supremasi sipil benar-benar sudah terwujud, atau justru ada kemunduran dalam agenda reformasi?
Militer Profesional atau Militer Politik?
Militer memang memiliki peran penting dalam menjaga kedaulatan negara, tetapi dalam negara demokrasi, peran tersebut harus dibatasi secara jelas. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa memiliki prinsip kuat bahwa militer harus tunduk kepada kepemimpinan sipil. Sebaliknya, dalam negara-negara dengan demokrasi yang rapuh, militer sering kali masih menjadi kekuatan politik yang dominan.
Indonesia berada dalam persimpangan jalan. Jika reformasi ingin tetap dijaga, maka peran TNI harus dikembalikan kepada fungsinya sebagai alat pertahanan negara, bukan sebagai kekuatan politik yang turut menentukan arah pemerintahan. Keterlibatan TNI dalam urusan sipil hanya akan menciptakan ketergantungan pemerintah terhadap militer, yang pada akhirnya bisa membuka jalan bagi kembalinya dominasi militer dalam politik.
Masih Perlu Perjuangan
Reformasi 1998 adalah titik balik dalam perjalanan demokrasi Indonesia, tetapi perjuangan untuk benar-benar menghapus Dwi Fungsi ABRI belum selesai. Militer yang profesional adalah militer yang fokus pada pertahanan negara dan tunduk kepada kepemimpinan sipil. Jika tren militerisasi politik terus berlanjut, maka kita harus bertanya: apakah kita benar-benar telah meninggalkan warisan Orde Baru, atau justru sedang kembali ke pola lama dengan kemasan yang berbeda?
Militer seharusnya menjadi benteng pertahanan negara, bukan pemain politik. Jika reformasi ingin tetap bermakna, maka supremasi sipil harus terus diperjuangkan.
Jakarta, 16 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi