PAPUA - Kabar duka menyelimuti pegunungan tengah Papua. Marvin Pigai, seorang anggota aktif Organisasi Papua Merdeka (OPM) wilayah Paniai, meninggal dunia setelah menderita sakit berkepanjangan tanpa mendapat penanganan medis yang layak. Kematian ini memunculkan tanda tanya besar soal tanggung jawab dan kepedulian internal OPM terhadap anggotanya sendiri. Senin, 14 Juli 2025.
Ironi ini mencuat karena selama ini OPM kerap mengklaim sebagai pejuang rakyat, namun justru abai terhadap kesejahteraan para anggotanya di lapangan. Marvin Pigai menjadi bukti nyata bahwa solidaritas yang dikampanyekan OPM tidak selalu diwujudkan dalam tindakan nyata.
Respons Masyarakat: “Ini Bukan Perjuangan, Ini Pengorbanan Sia-Sia”
Peristiwa ini memicu reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, termasuk tokoh adat dan bahkan kalangan simpatisan OPM sendiri. Thomas Goo, tokoh masyarakat Paniai, dengan lantang mengkritik ketidakhadiran empati dari elite OPM terhadap para pejuang di medan sulit.
“Sebby Sambom tinggal di luar negeri, bicara dari tempat nyaman. Tapi Marvin Pigai yang dijadikan pion dan dibiarkan mati perlahan. Ini bukan perjuangan, ini pengorbanan sia-sia, ” ujar Thomas. Senin (14/07/2025).
Pengakuan Terbuka dari Juru Bicara OPM
Dalam wawancara dengan media asing, Juru Bicara OPM Sebby Sambom mengakui pihaknya mengalami keterbatasan dalam menyediakan fasilitas kesehatan. Ia menyebut, “Kami beroperasi dalam keterbatasan. Tidak mudah mendapatkan akses medis, apalagi saat berada dalam kondisi pengejaran dan tekanan militer.”
Namun alih-alih mendapat simpati, pernyataan tersebut justru memicu gelombang kritik. Banyak pihak menilai bahwa keterbatasan bukan alasan untuk mengabaikan nyawa anggotanya sendiri, terlebih jika OPM ingin mengklaim diri sebagai gerakan rakyat.
Realitas di Lapangan: Retaknya Solidaritas dalam Tubuh OPM
Kematian Marvin Pigai menjadi refleksi menyakitkan tentang lemahnya sistem internal dan nihilnya perlindungan terhadap para anggota OPM yang berada di lapangan. Di saat narasi perjuangan digaungkan di luar negeri, para anggota justru harus menanggung penderitaan sendirian, bahkan hingga ajal menjemput.
Peristiwa ini semakin mempertegas bahwa OPM gagal membangun struktur kepedulian dan perlindungan yang semestinya menjadi fondasi utama dalam sebuah perjuangan. Bagi masyarakat Papua, ini menjadi momen introspeksi: bahwa perjuangan sejati tidak pernah membiarkan satu nyawa pun melayang sia-sia. (Apk/Red1922)