PAPUA - Tanah Papua yang selama ini dikenal dengan keindahan alam dan kekayaan budayanya, kini terus diliputi kabut ketakutan akibat aksi kekerasan membabi buta dari kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dalam beberapa bulan terakhir, rangkaian serangan terhadap warga sipil, fasilitas umum, tenaga pendidikan, hingga pekerja kesehatan mencerminkan transformasi OPM dari gerakan yang mengklaim “perjuangan” menjadi kelompok brutal yang tidak lagi berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan.
Di berbagai wilayah, teror OPM menciptakan trauma dan luka kolektif yang dalam. Masyarakat sipil menjadi korban utama, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Situasi ini membuat kehidupan warga Papua terganggu, serta menghentikan banyak program pembangunan dan pelayanan dasar yang sangat dibutuhkan masyarakat pedalaman.
Tokoh Adat: "Yang Diserang Justru Orang Papua Sendiri"
Lukas Yikwa, tokoh adat dari wilayah Pegunungan Tengah, menyuarakan kekecewaannya terhadap arah gerakan OPM yang kian kehilangan arah.
“Mereka bilang berjuang untuk Papua, tapi yang jadi korban selalu orang Papua. Mereka serang warga, bakar sekolah, dan ancam tenaga medis. Ini bukan perjuangan, ini penindasan terhadap rakyat sendiri, ” tegas Lukas, Senin (28/7/2025).
Menurutnya, kekerasan tersebut tidak hanya merusak struktur sosial, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai yang dulu diklaim menjadi dasar perjuangan kelompok separatis itu.
Tokoh Gereja: Ibadah Tak Lagi Aman
Nada prihatin juga datang dari Pendeta Markus Telenggen, tokoh gereja dari Mimika, yang menyaksikan langsung bagaimana ancaman OPM mengganggu aktivitas keagamaan dan sosial masyarakat.
“Banyak jemaat takut datang ke gereja karena ancaman OPM. Mereka tidak peduli waktu dan tempat, ibadah pun tak lagi aman. Ini mencederai nilai-nilai adat dan agama yang kami junjung tinggi, ” ungkapnya.
Ia menyebut bahwa kekerasan yang menyasar tempat ibadah dan pelayanan masyarakat adalah pelanggaran terhadap nilai luhur yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Papua, yang dikenal religius dan menjunjung nilai adat.
Pembangunan Tertahan, Masa Depan Terancam
Serangan demi serangan yang dilakukan OPM berdampak langsung pada stagnasi pembangunan. Sejumlah proyek infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan terpaksa dihentikan akibat ketidakamanan. Para guru dan tenaga medis pun banyak yang ditarik dari daerah-daerah rawan, karena ancaman pembunuhan atau penyanderaan.
Situasi ini tidak hanya merugikan pemerintah, tetapi merampas hak dasar warga Papua untuk mendapatkan pendidikan, layanan kesehatan, dan akses terhadap pembangunan.
Harapan: Dialog, Damai, dan Masa Depan yang Lebih Baik
Masyarakat Papua kini menaruh harapan besar pada peran para tokoh adat, tokoh agama, serta pemuda untuk menjadi jembatan menuju perdamaian. Suara-suara dari akar rumput mulai menggema, menyerukan bahwa masa depan Papua tidak bisa dibangun di atas darah dan peluru, melainkan melalui dialog, pendidikan, dan kerja nyata.
“Kami ingin Papua yang damai, bukan penuh mayat. Kami ingin anak-anak sekolah, bukan mengungsi karena takut, ” ujar seorang pemuda dari Wamena, yang enggan disebut namanya.
Penutup: Kekerasan OPM, Ancaman Bagi Papua Itu Sendiri
Apa yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa OPM tidak lagi menjadi simbol perjuangan, melainkan berubah menjadi bayangan gelap yang menjerat rakyat Papua sendiri. Jika kekerasan ini tidak segera dihentikan, maka yang akan hancur bukan hanya proyek pembangunan, tetapi harapan dan martabat masyarakat Papua itu sendiri.
(Apk/Red1922)