KLUNGKUNG – Kamis, 29 Mei 2025, Ombak ganas kembali melahap garis pantai Mongalan, Desa Kusamba, Klungkung, Bali. Abrasi yang terus terjadi selama beberapa tahun terakhir bukan hanya menggerus daratan, tetapi juga kehidupan. Puluhan rumah warga lenyap, mata pencaharian hancur, dan tradisi pembuatan garam warisan leluhur kini tinggal kenangan.
"Kami seperti anak tiri. Setiap kali abrasi datang, pemerintah cuma datang, catat, lalu pulang. Tidak ada solusi nyata, ” keluh seorang petani garam yang kini tinggal di garasi tetangga, setelah rumahnya habis digulung laut.
Pemerintah memang sempat menawarkan relokasi. Tapi ironisnya, lokasi yang ditawarkan jauh dari pantai, tanpa mempertimbangkan kenyataan bahwa warga adalah petani garam yang menggantungkan hidupnya pada air laut. "Kalau jauh dari laut, bagaimana kami bisa bekerja? Mereka seolah tidak paham siapa kami, " imbuhnya dengan nada getir.
Sejak 2023, abrasi di pesisir Kusamba sudah jadi sorotan. Kala itu, Dinas PUPR Klungkung menjanjikan pembangunan pemecah ombak dan rehabilitasi pantai. Namun, dua tahun berlalu, yang tersisa hanyalah tumpukan geobag yang kini ikut raib, terseret ombak.
"Geobag itu cuma tempelan. Setelah dipasang, ditinggal begitu saja. Tidak ada evaluasi, tidak ada pemeliharaan. Sekarang jebol, dan abrasi makin parah, " tutur warga lainnya.
Dalam setahun terakhir, garis pantai Mongalan telah mundur hingga 15 meter. Jika tidak ada penanganan serius, para ahli memperkirakan seluruh kawasan permukiman dan ladang garam akan lenyap dalam lima tahun ke depan.
Tapi Kusamba bukan sekadar desa nelayan. Ini adalah pusat budaya garam tradisional Bali, dikenal hingga mancanegara. Jika abrasi dibiarkan, bukan hanya tanah yang hilang, tapi juga identitas.
"Apa yang bisa kami wariskan ke anak cucu kalau laut mengambil segalanya? Pemerintah harus sadar, ini bukan cuma soal daratan, tapi juga sejarah dan harga diri, ” ujar Pak Brewok.
Warga sepakat mereka butuh solusi permanen, bukan janji manis, bukan sekadar bantuan sembako, bukan geobag yang hanya bertahan satu musim. Mereka mendesak pembangunan pemecah ombak, rehabilitasi vegetasi pantai, dan perlindungan pesisir berkelanjutan.
“Setiap malam kami tidur dengan rasa was-was. Ombak berikutnya mungkin mengambil yang tersisa. Tapi apa ada yang peduli?” tanya seorang ibu, menatap laut yang terus mendekat.
Sementara itu, suara rakyat terus menggema, tapi seperti biasa, pemerintah sibuk dalam keheningan. Pada 2024, calon bupati yang kini menjabat pernah berjanji mengalokasikan dana darurat untuk abrasi. Tapi hingga kini, jawaban klasik tetap sama: masih proses.
Wakil Bupati Klungkung, Tjokorda Gde Surya Putra, saat dimintai konfirmasi oleh awak media, hanya menjawab dua kata lewat pesan WhatsApp: “Matur suksma.”
Sementara laut terus maju, pemerintah justru semakin mundur.
Kusamba tak butuh basa-basi. Mereka butuh aksi.
Karena jika negara tak mampu melindungi rakyatnya, maka rakyat punya hak untuk bertanya: untuk siapa sebenarnya negara ini berdiri? (Ich)