JAKARTA - DKI adalah Ibu Kota Negara. Belum pindah ke IKN di Kaltim. Tak ada yang tahu kapan pindah. Belum ada tanda-tanda jadi pindah. Bahkan, upacara kemerdekaan 17 Agustus bulan depan masih di Jakarta.
Lembaga Eksekutif, Legislatif hingga Yudikatif tampak enggan pindah ke IKN. Banyak alasan yang terkesan dicari-cari oleh tiga lembaga ini untuk tidak pindah ke IKN. Apakah IKN bakal mangkrak seperti Wisma Atlet Hambalang? Atau akan menjadi kantor Gubernur Kalimantan Timur sebagaimana wacana yang berkembang di gedung DPR? Entahlah...
DKI Jakarta masih seksi. Tidak hanya untuk bidang ekonomi, tapi juga politik. Siapapun yang menjadi Gubernur DKI, ia punya jalur khusus untuk nyapres. Istana ada di depan mata. Memang, perlu perjuangan keras untuk pindah dari kantor selatan (pemprov) ke kantor di sebelah utara (istana). Tahun 2014, Jokowi sukses pindah ke istana. Tahun 2024, Anies Baswedan gagal. Bagaimana tahun 2029?
PKS punya peran signifikan, karena menjadi partai pemenang di DKI. Setelah sukses antarkan Anies Baswedan di pilgub 2017, PKS mengusung lagi Anies ke istana. Nasib belum berpihak. Banyak yang harus dievaluasi terkait dengan instrumen kemenangan. Pelajarannya: "kemenangan tidak ditentukan oleh integritas dan kapasitas". Dua hal ini tidak cukup. Kunci kemenangan ada di strategi. Dengan sistem demokrasu, logistik merupakan salah satu bagian penting dari strategi itu.
Kini, DKI dipimpin oleh kader PDIP. Gubernur dan wakilnya. Keduanya paket PDIP. Tahun 2017-2022 PDIP menjadi pemenang pemilu, tapi Gubernur dipimpin oleh calon PKS dan Gerindra yaitu Anies Baswedan. Saat ini yang terjadi sebaliknya: pemenangnya PKS, tapi gubernurnya dari PDIP. Begitulah politik, tidak ada yang linier. Pilkada dan pileg punya hukum politiknya sendiri.
Ketika ketua DPRD DKI dipimpin oleh Prasetyo Edi Marsudi, seorang kader PDIP, suasana oposition terasa sekali. Sebagai gubernur, Anies begitu kerepotan menghadapi kritik dan serangan konsisten, serta berbagai manuver dari kader PDIP di DKI. Termasuk rencana Anies menjual saham bir, juga terganjal oleh ketua DPRD. Begitu juga ketika Anies mengupayakan wagub pengganti Sandiaga Uno dari kader PKS, juga terganjal dan gagal. Belum lagi duet PDIP dan PSI, semakin menyulitkan Anies dalam merealisasikan program-programnya. Ingat bagaimana manuver PSI terhadap ajang Formula E di Ancol? Anda pasti tidak lupa. Bagaimana pula dengan pembangunan JIS (Jakarta International Studion). Bukan dinamika yang datang, tapi badai yang menghadang.
Saat ini, PKS nampaknya tampil beda. Sebagai juara dan pemegang kursi ketua DPRD DKI, sikap politik PKS terlihat lebih rasional. PKS memilih untuk memberi dukungan penuh terhadap pembangunan DKI yang dinahkodai oleh kader PDIP. PKS memilih untuk membangun hubungan yang lebih harmonis dan produktif. Suasana politik Ibu Kota DKI saat ini sangat kondusif. Ini bertolakbelakang dengan situasi 2017-2022.
Perbedaan karakter partai dan personal pimpinan menjadi faktor berpengaruh dalam relasi dan dialektika politik di Jakarta. PKS cenderung kalem, sementara PDIP sejak lahir punya pengalaman berhadapan dengan represi Orde Baru. Ini juga yang membentuk karakter berbeda dari keduanya.
Begitu juga dengan karakter ketua DPRD DKI. Prasetyo sosok yang lantang bahkan keras dan cenderung meledak-ledak. Sebagaimana umumnya kader PDIP yang memang sangat terlatih dan jago berdebat. Sementara Khoiruddin, ketua DPRD DKI 2024-2029, punya pembawaan yang lebih kalem dan tampil lebih elegan. Disamping situasi politik dibawah kekuasaan Prabowo, beda dengan situasi saat Indonesia dipimpin Jokowi. Prabowo lebih kompromis kepada lawan-lawan politiknya dibanding Jokowi. Setidaknya di awal pemerintahan Prabowo ini.
So, bagaimana konstalasi politik DKI menuju 2029, apakah PKS tetap akan menjadi juara dan mampu mengambil alih kekuasaan Pranono Anung di DKi? Bagaimana pula dengan kompetisi menuju istana? Kita tunggu cerita dibalik cerita.
Jakarta, 25 Juli 2025
Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa