Rembulan dan Matahari

16 hours ago 4

(Sebuah Prosa Puitis tentang Cinta yang Tak Dihargai)

Aku dan kamu, seperti rembulan dan matahari.
Saling tahu keberadaan, saling menyinari dunia… tapi tak pernah benar-benar bersama.
Kita hanya bertemu sejenak saat senja—
ketika langit ragu memilih terang atau gelap.
Lalu kau pergi lagi, dan aku kembali sendiri.

Aku ini pungguk, yang pernah menatap bulan dengan harap.
Berdoa pada langit yang tak pernah memberi jawaban.
Menanti sinar yang tak ditakdirkan turun ke bumi.
Begitulah aku—pernah menunggumu.
Dengan rindu yang diam-diam, dengan cinta yang tak kau hargai.

Kau tahu?
Aku wanita yang bisa berdiri sendiri.
Aku punya luka, tapi aku juga punya kekuatan.
Aku mencintaimu, iya…
Tapi mencintai tak selalu harus memiliki.
Terlebih jika cinta itu hanya membuatku merendah
bukan karena rela, tapi karena dilukai.

Kau meremehkanku.
Seolah perasaanku hal remeh yang bisa kau abaikan.
Padahal, setiap kata yang kutahan, adalah bukti kesabaran.
Setiap air mata yang kutelan diam-diam,
adalah bentuk paling jujur dari kesetiaanku.

Tapi semua ada batasnya.
Dan aku telah sampai di sana.

Kini, aku bukan lagi wanita yang akan memohon untuk dipandang.
Aku tak ingin menjadi cerita di hidupmu yang tak kau hargai.
Aku lelah berurusan dengan lelaki yang hanya tahu meminta, tapi tak pernah memberi arti.

Biarlah aku sendiri,
Asal tak lagi direndahkan.
Biarlah sepi menemaniku,
Asal aku tahu, aku berharga.

Karena yang seharusnya sejajar,
tidak pantas dibungkukkan hanya demi cinta yang sepihak.

Agust, 2025, Fang

Serpihan Er A

Read Entire Article
Karya | Politics | | |