Mulai Bisnis Era Digital: Jangan Jual Solusi Untuk Masalah yang Tidak Ada

4 hours ago 2

Oleh : Indra Gusnady

OPINI -   Era digital membawa berkah bagi siapa pun yang ingin memulai bisnis. Tak perlu lagi sewa toko, cukup modal ponsel dan jaringan internet, semua bisa dimulai. Platform daring seperti marketplace, media sosial, dan aplikasi pemesanan telah membuka peluang selebar-lebarnya.

Namun di balik kemudahan itu, tersembunyi tantangan yang justru lebih besar: banyaknya kompetitor, cepatnya perputaran tren, dan jebakan berpikir instan.

Salah satu jebakan paling umum adalah berbisnis hanya berdasarkan keahlian pribadi tanpa mempertimbangkan apakah keahlian itu menjawab kebutuhan pasar.

Seorang lulusan IT, misalnya, merasa yakin bahwa kemampuannya membuat website akan otomatis menjelma jadi bisnis yang menguntungkan. Padahal, belum tentu masyarakat atau target pasar di sekitarnya sedang membutuhkan website.

Tanpa riset yang memadai, bisnis semacam ini hanya akan berputar di lingkaran idealisme pribadi yang tak menyentuh realitas.

Kesalahan ini berakar dari pemahaman yang keliru tentang hakikat kewirausahaan. Banyak yang berpikir bahwa bisnis dimulai dari produk. Padahal, seharusnya dimulai dari masalah.

Bisnis yang langgeng adalah bisnis yang hadir sebagai solusi atas problem nyata di masyarakat, bukan sekadar sebagai etalase kemampuan diri.

Seth Godin, pakar pemasaran global, dalam bukunya This is Marketing (2018), menyatakan dengan tegas, “Don’t find customers for your products. Find products for your customers.” Kita tidak boleh memaksa pasar membeli apa yang bisa kita buat.

Sebaliknya, kita harus menciptakan sesuatu yang benar-benar dibutuhkan pasar. Ini pula yang ditegaskan Yuswohady, pengamat pemasaran Indonesia, dalam banyak tulisannya: era sekarang menuntut pola pikir yang berpusat pada konsumen, bukan pada ego produsen.

Data mendukung pandangan ini. Laporan e-Conomy SEA 2023 dari Google, Temasek, dan Bain & Company mencatat bahwa nilai ekonomi digital Indonesia telah mencapai 82 miliar dolar AS, terbesar di Asia Tenggara.

Namun, dari seluruh startup digital yang tumbuh selama lima tahun terakhir, hanya sekitar 20 persen yang bertahan. Banyak yang tumbang bukan karena teknologi mereka buruk, melainkan karena tidak menjawab kebutuhan nyata.

Contohnya, teknologi sistem informasi canggih yang dijual ke wilayah pedesaan tanpa mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan literasi digital masyarakat setempat. Produk seperti ini, meskipun bagus dari sisi teknis, berakhir sebagai barang tak terpakai.

Sebaliknya, ada usaha sederhana seperti jasa fotografi keliling atau katering harian yang justru tumbuh pesat karena menyentuh kebutuhan konkret di lingkungan sekitar.

Maka, dalam dunia bisnis digital yang sangat kompetitif, pendekatan terbaik bukanlah menjual produk unggulan, melainkan menemukan masalah yang nyata dan menawarkan solusi yang relevan. Jika tidak, kita hanya akan mengulang kesalahan: bangga dengan produk sendiri, tetapi tidak pernah laku di pasar.

Era digital memang memberi akses mudah untuk berbisnis, tetapi hanya mereka yang cermat membaca kebutuhan yang akan bertahan. Dalam pasar yang makin padat dan cepat berubah, memahami problem lebih penting daripada menunjukkan kehebatan.

Jadi.. sebelum kita bicara tentang produk, tanyakan dulu: masalah siapa yang hendak kita selesaikan?

Itulah fondasi dari bisnis yang bukan hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan berdampak.

Read Entire Article
Karya | Politics | | |