Menakar Daya Tahan Pemerintah Daerah di Tengah Efisiensi Anggaran Nasional

7 hours ago 5

Oleh: Riski Amelia

OPINI -   Kebijakan efisiensi anggaran yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah pusat tengah bersiap menghadapi tantangan fiskal nasional dengan pendekatan ketat dan terukur. Namun, kebijakan ini membawa dampak ikutan yang tidak kecil bagi pemerintah daerah, mulai dari tingkat provinsi hingga kota dan kabupaten. Ketika anggaran yang mengalir dari pusat mulai menyusut, kepala daerah dipaksa untuk memutar otak lebih keras guna memastikan roda pembangunan tetap bergerak, sementara janji-janji politik mereka selama kampanye masih menanti untuk ditunaikan.

Realitas di lapangan menunjukkan adanya tekanan ganda bagi para kepala daerah. Di satu sisi, mereka harus mengakomodasi program-program pusat yang digelontorkan ke daerah. Tak jarang, program-program tersebut membutuhkan pendampingan administratif maupun operasional dari pemerintah daerah—dari mulai survei lokasi hingga penyambutan tamu dari kementerian atau lembaga pusat—yang tak luput menyedot APBD. Upacara seremonial, jamuan, hingga dokumentasi sering kali menjadi "beban siluman" yang tidak kecil, apalagi bila intensitas kunjungan dari pusat meningkat.

Di sisi lain, janji politik kepala daerah—entah itu pembangunan infrastruktur lokal, pemberdayaan UMKM, pendidikan gratis, atau program sosial berbasis kearifan lokal—tidak semuanya mendapat alokasi dari pusat. Maka, ketika dana dari pusat menipis dan kewajiban daerah bertambah, para wali kota, bupati, dan gubernur berada di persimpangan sulit: antara loyalitas pada kebijakan pusat dan tanggung jawab moral terhadap rakyat yang memilih mereka.

Fenomena ini mengungkap satu hal penting: saatnya pemerintah daerah tidak hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat, tetapi juga menjadi lokomotif inovasi dalam pembiayaan dan pelaksanaan pembangunan. Pemerintah daerah harus mampu menggali sumber-sumber pendapatan alternatif yang sah dan berkelanjutan. Misalnya, optimalisasi BUMD, penguatan sinergi dengan swasta melalui skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha), hingga menggali potensi pajak dan retribusi tanpa membebani rakyat kecil.

Selain itu, transparansi dan efisiensi pengelolaan APBD menjadi keharusan. Setiap rupiah yang keluar harus dapat dipertanggungjawabkan untuk program yang produktif dan menyentuh kebutuhan nyata masyarakat. Perampingan birokrasi, digitalisasi layanan, hingga pemangkasan anggaran seremonial bisa menjadi langkah awal yang signifikan.

Di tengah tekanan fiskal, inilah saatnya kepala daerah membuktikan kualitas kepemimpinannya. Bukan dengan keluhan, tapi dengan inovasi. Bukan dengan menyalahkan, tapi dengan mencari jalan. Karena sejatinya, kepemimpinan diuji bukan ketika anggaran melimpah, melainkan saat krisis datang tanpa kompromi.

Presiden boleh mengencangkan ikat pinggang negara, tapi kepala daerah tak bisa lepas tangan dari tanggung jawab mereka kepada rakyat. Maka, pilihan satu-satunya adalah menjadi kreatif, kolaboratif, dan adaptif. Ini bukan sekadar soal politik anggaran, tapi soal tanggung jawab publik yang tak bisa ditawar.

Read Entire Article
Karya | Politics | | |