DAKWAH - Ada masa dalam hidup ketika semuanya terasa berat. Bukan karena tubuh yang kelelahan, melainkan karena jiwa yang terisi beban tak kasatmata. Tidur terganggu, pikiran penuh, hati sempit. Kita berjalan, tapi tidak benar-benar bergerak. Kita tersenyum, tapi hanya sebatas bibir. Kita duduk di keramaian, tapi merasa paling sepi di dunia.
Fenomena ini bukan monopoli kaum urban yang lelah bekerja. Bukan pula milik generasi muda yang terjebak tuntutan produktivitas. Ia bersifat universal—menjangkau siapa pun, pada usia berapa pun. Rasa sesak yang tak bisa dijelaskan. Beban yang tak bisa diukur, namun nyata terasa menekan.
Menariknya, beban semacam ini sudah lama dibicarakan, bahkan diabadikan dalam kitab suci Al-Quran. Dalam Surat Al-Insyirah, termaktub ayat yang sangat dekat dengan pengalaman eksistensial manusia:
“Wa wada’na ‘anka wizrak. Alladzi anqadha zhahrak.”
Kami telah mengangkat beban darimu. Beban yang menindih punggungmu.
Al-Qur'an menyebut wizr —beban yang menekan, bukan sekedar fisik, tapi menembus ke dalam batin. Beban yang menghimpit hingga membuat manusia merasa lumpuh tanpa luka yang terlihat. Di masa modern, kita mengenalnya sebagai tekanan psikologis, krisis makna, atau bahkan depresi.
Namun yang membedakan adalah respon langit terhadap beban itu. Tuhan tidak hanya mengatakannya. Ia juga mengakui keberadaannya dan menyandingkannya dengan sebuah janji:
“Wa rafa’na laka dzikrak.”
Dan Kami telah meninggikan sebutan (nama) mu.
Perbedaan perspektif dimulai. Beban bukan pengampunan sebagai hukuman. Ia bukan sesuatu yang menjatuhkan. Tapi justru mekanisme illahi untuk menaikkan. Rasa sakit ternyata tidak selalu mengarah pada kehancuran. Kadang-kadang, itu adalah proses kenaikan kelas.
Seperti pendaki yang kelelahan, rasa nyeri di kaki bukanlah pertanda kegagalan. Justru itu tanda bahwa dia sedang naik. Maka hidup pun tidak jauh berbeda. Ujian demi ujian yang datang bertubi-tubi mungkin bukan sinyal bahwa kita ditinggalkan, tapi bahwa kita sedang bergerak menuju tempat yang lebih tinggi.
Namun manusia, secara mendasar, selalu ingin lari dari rasa sakit. Kita menginginkan kelegaan instant. Ingin sembuh tanpa waktu. Padahal Surat Al-Insyirah tak hanya menyampaikan bahwa beban itu diakui. Tapi juga penekanan pesan berulang yang tidak boleh diabaikan:
"Fa inna ma'al usri yusra. Inna ma'al usri yusra."
Sesungguhnya bersama kesulitan, ada kemudahan.
Kesulitan dan kemudahan itu sejalan, bersamaan waktunya . Bukan setelahnya, 'berdulu - berkudian'. Artinya, ketika seseorang sedang menangis karena kesulitan hidup, pada waktu yang sama, kemudahan sedang bergerak ke arahnya. Ia mungkin belum terlihat. Tapi dia ada. Dia sedang bersiap. Di luar jangkauan pandangan, tapi tidak di luar jangkauan kasih sayang Tuhan.
Tulisan ini bukan ajakan untuk pasrah tanpa ikhtiar. Bukan pula mengagung-agungkan terhadap penderitaan. Tetapi sebuah seruan untuk memandang beban dari sudut pandang baru: sebagai jalan pendakian. Bahwa tidak semua yang menyakitkan itu melemahkan. Bisa jadi, ia sedang membentuk.
Karena pada akhirnya, bukan beban itu yang membentuk kita. Tapi bagaimana kita menanggapinya. Apakah kita runtuh, atau kita bertahan? Apakah kita menyalahkan, atau kita mencari makna?
Mereka yang bertahan akan menemukan satu titik ketika rasa sakit menjadi sumber pemahaman. Ketika malam-malam direkomendasikan melahirkan perenungan. Ketika air mata menjadi pintu menuju kesadaran baru. Di sana, beban tak lagi menindih. Ia justru menjadi tangga. Kita mendaki, setahap demi setahap. Terengah-engah. Tapi tetap naik.
Dan pada akhirnya, kita sampai di titik yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Bukan karena semua luka telah sembuh. Tapi karena kita mampu memikulnya dengan kepala tegak, dada lapang, dan hati yang percaya: bahwa Tuhan tidak pernah memberi beban tanpa maksud. Dan maksud-NYA, selalu baik.
Oleh: Indra Gusnady, SE, M.Si (Kepala BKD Kabupaten Solok)