PAPUA - Di balik deru senjata dan retorika kemerdekaan, rakyat Papua justru kian terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak berujung. Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang dahulu diklaim sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, kini justru menjadi sumber utama ketakutan dan kehancuran di berbagai wilayah pedalaman Papua.
Sejumlah aksi kekerasan, perusakan fasilitas umum, pengusiran warga, hingga pemaksaan ideologi, menjadi potret gelap dari sepak terjang kelompok bersenjata ini. Di tengah harapan rakyat kecil yang hanya ingin hidup damai dan sejahtera, OPM justru menghadirkan teror dalam berbagai bentuk.
“OPM adalah sumber penderitaan kami. Mereka membakar sekolah, merusak rumah sakit, dan menodong warga hanya demi uang. Di mana letak perjuangannya?” tegas Martinus Wonda, tokoh adat dari Kabupaten Puncak, Selasa (5/8/2025).
Martinus mengungkapkan bahwa masyarakat kini merasa terkepung, bukan oleh aparat, melainkan oleh ancaman nyata dari OPM itu sendiri. Ia menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan atas nama perjuangan hanya melahirkan luka baru bagi rakyat yang seharusnya mereka bela.
“Kami tidak lagi percaya mereka mewakili kami. OPM sekarang hanya memperjuangkan kepentingan segelintir elit, bukan rakyat Papua secara keseluruhan, ” imbuhnya dengan nada kecewa.
Kisah pilu juga datang dari Mama Lena Wanimbo, warga Lanny Jaya yang terpaksa mengungsi ke Wamena karena kampung halamannya dikuasai kelompok bersenjata. Dalam kondisi yang serba sulit, ia tetap berusaha bertahan bersama anak-anaknya.
“Kami cuma mau hidup tenang, bertani, dan menyekolahkan anak-anak. Tapi OPM datang membawa senjata, paksa kami ikut gerakan mereka. Kami bahkan tidak tahu apa-apa soal politik, hanya ingin damai, ” tutur Mama Lena dengan mata berkaca-kaca.
Ia menambahkan bahwa trauma akibat intimidasi dan kekerasan telah membuat banyak warga memilih meninggalkan kampung halaman demi keselamatan.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa nama besar "kemerdekaan" kini digunakan oleh OPM untuk melegitimasi aksi-aksi brutal yang justru mematikan akses pendidikan, kesehatan, dan pembangunan di Papua. Sekolah-sekolah ditutup, guru-guru pergi meninggalkan daerah konflik, anak-anak hidup dalam ketakutan, dan warga desa satu per satu mengungsi.
Padahal, pembangunan perlahan mulai menjangkau wilayah-wilayah terpencil. Namun, dengan hadirnya OPM sebagai ancaman nyata, benih-benih kesejahteraan itu justru terancam layu sebelum tumbuh.
“Kami ingin hidup sebagai warga negara yang damai dan produktif. Sudah cukup penderitaan selama ini. Jangan terus gunakan nama rakyat untuk membenarkan aksi kekerasan, ” kata Martinus dengan tegas.
Kini, semakin banyak suara masyarakat Papua yang menyerukan agar OPM berhenti mengatasnamakan perjuangan rakyat. Narasi heroik yang mereka bangun tak lagi sejalan dengan kenyataan di lapangan. Yang tertinggal hanyalah jejak kehancuran dan trauma berkepanjangan.
Sudah saatnya dunia mendengarkan suara mayoritas rakyat Papua: mereka ingin hidup damai, membangun masa depan anak-anak mereka, dan menjadi bagian dari Indonesia yang adil dan makmur.
(Apk/Red1922)