Jangan Matikan Golden Age Atlet Bulutangkis Bali

6 hours ago 2

Oleh: [Sugeng PRAMONO ]

DENPASAR - Kebijakan baru PBSI Bali yang menetapkan batas usia maksimal 18 tahun untuk atlet bulutangkis berlaga di ajang Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Bali menimbulkan kekhawatiran dan kritik dari berbagai pihak, khususnya dari para pelatih dan pembina atlet usia muda di Kabupaten Badung. Aturan ini dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap proses pembinaan dan keberlanjutan prestasi atlet daerah yang selama ini berjalan konsisten dan terarah.

Dalam dunia olahraga, masa antara usia 13 hingga 21 tahun dikenal sebagai golden age, yaitu masa keemasan perkembangan atlet, di mana kemampuan fisik, teknik, mental, dan daya kompetitif tumbuh secara signifikan. Pada fase inilah para atlet membutuhkan ruang tampil dan panggung kompetisi yang berkesinambungan agar dapat berkembang maksimal. Sayangnya, dengan pembatasan usia hanya sampai 18 tahun, atlet-atlet yang sedang berada di puncak masa emas pembelajaran dan performa justru kehilangan peluang untuk mengasah diri.

Kondisi ini sangat disayangkan, terutama di Kabupaten Badung, yang selama ini dikenal sebagai salah satu daerah dengan pembinaan atlet bulutangkis terbaik di Bali. Klub-klub lokal aktif membina anak-anak sejak usia dini, didukung oleh fasilitas, pelatih yang kompeten, serta atmosfer kompetisi yang sehat. Namun kini, banyak atlet usia 19 hingga 21 tahun—yang masih aktif berlatih dan berprestasi di tingkat regional maupun nasional—harus gigit jari karena tidak bisa turun di Porprov hanya karena faktor usia administratif.

Kebijakan ini tentu mengundang pertanyaan: apakah pembatasan ini semata-mata demi regenerasi? Jika benar demikian, bukankah seharusnya regenerasi dilakukan melalui sistem kategori usia, bukan dengan menutup akses bertanding bagi mereka yang masih berada di usia produktif secara prestasi?

Solusi yang lebih bijak adalah membuka dua atau lebih kategori usia, misalnya U-18 dan U-21. Dengan cara ini, tujuan regenerasi tetap tercapai tanpa harus mematikan semangat dan potensi atlet yang sedang berada dalam masa keemasannya. Beberapa provinsi lain bahkan telah menerapkan sistem berjenjang ini dalam ajang kejuaraan daerah, sebagai bentuk dukungan nyata terhadap proses pembinaan berkelanjutan.

Penting untuk diingat bahwa Porprov bukan sekadar ajang mencari medali, melainkan juga sarana pembinaan dan pematangan atlet untuk menuju pentas yang lebih tinggi, baik nasional maupun internasional. Oleh karena itu, kebijakan yang menyangkut pembinaan atlet seharusnya tidak hanya mempertimbangkan aspek usia, tetapi juga potensi jangka panjang dan kebutuhan aktual di lapangan.

Jika ruang kompetisi ditutup bagi atlet yang sedang berkembang, maka bukan hanya semangat mereka yang padam, tetapi juga harapan daerah dalam mencetak juara sejati di masa depan. Kebijakan yang tidak adaptif dan tidak memahami ekosistem pembinaan justru dapat menjadi batu sandungan bagi kemajuan olahraga itu sendiri.

PBSI Bali perlu mendengar suara dari akar rumput—pelatih, klub, orang tua atlet, hingga para atlet itu sendiri—sebelum memberlakukan kebijakan yang menyangkut masa depan mereka. Jangan biarkan semangat anak-anak muda yang telah bekerja keras demi daerahnya pupus hanya karena batasan administratif yang tidak berpihak pada perkembangan jangka panjang.

Semoga evaluasi menyeluruh dapat dilakukan, dan ke depan, kebijakan olahraga di Bali dapat lebih berpihak pada pengembangan potensi, bukan pemangkasan peluang. (Tim) 

Read Entire Article
Karya | Politics | | |