Hendri Kampai: Tangkap Koruptor Kakap, Kejaksaan Agung Jadi Sorotan Rakyat, Tuntas atau Gimmick? 

2 months ago 36

BIDIK KASUS - Upaya Kejaksaan Agung dalam menangkap koruptor kelas kakap dari tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kini kembali menjadi perhatian publik. Salah satu sorotan utama adalah kasus korupsi di PT Pertamina (Persero) yang melibatkan pengadaan proyek energi, manipulasi tender, hingga penggelembungan biaya investasi.

Fenomena ini menunjukkan bahwa problematika tata kelola BUMN bukan hanya soal individu pelaku, melainkan sudah bersifat sistemik dan terstruktur.

Seperti yang diungkapkan oleh Disemadi, Yusro, & Shaleh (2020), celah korupsi sering kali muncul akibat lemahnya pengaturan keputusan bisnis direksi yang seharusnya dilindungi dengan prinsip Business Judgement Rule namun justru dimanfaatkan sebagai tameng untuk tindakan menyimpang.

Selain itu, budaya organisasi internal di Pertamina turut memperparah situasi. Wahjono (2022) menyoroti bahwa perilaku kelompok dalam korporasi bisa menjadi faktor pendorong normalisasi praktik suap dan korupsi, khususnya jika ada pembiaran dalam pengawasan internal.

Hal ini diperkuat dengan penelitian oleh Sheehy & Damayanti (2019) yang mengidentifikasi bahwa meskipun Pertamina berorientasi pada keuntungan dan CSR, praktik keberlanjutan justru sering dijadikan alat legitimasi untuk menutupi inefisiensi manajerial yang berujung pada korupsi.

Tak hanya Pertamina, problematika serupa juga ditemukan di berbagai BUMN lainnya seperti PLN dan Garuda Indonesia, yang mengalami kerentanan serupa terhadap intervensi politik dan benturan kepentingan.

Ilmiyah (2022) dalam studinya menunjukkan bagaimana kekuasaan politik memengaruhi tata kelola hukum BUMN, yang akhirnya membuka jalan bagi praktek korupsi berjamaah dalam proyek strategis nasional.

Meski penangkapan pelaku korupsi terus dilakukan, publik masih mempertanyakan keseriusan Kejaksaan Agung: apakah ini upaya penegakan hukum yang konsisten atau hanya gimmick politik?

Redi & Manohara (2020) menyoroti bahwa revisi regulasi migas yang bertujuan menekan korupsi justru sering kali berjalan di tempat akibat tarik menarik kepentingan internal antar lembaga negara dan BUMN.

Di sisi lain, reformasi kepemimpinan di tubuh BUMN sempat membawa angin segar, seperti melalui figur Erick Thohir dan Sudirman Said. Namun, sebagaimana dicatat oleh Widiarti (2022) dan Rahadian (2021), transformasi ini pun tidak luput dari kritik karena belum mampu menciptakan efek jangka panjang yang mampu mengubah kultur birokrasi BUMN menjadi lebih transparan dan akuntabel.

Mengutip Ichsan et al. (2022), transformasi digitalisasi layanan Pertamina yang digadang sebagai langkah efisiensi dan transparansi, ternyata juga rentan disusupi kepentingan politis dan bisnis yang justru membuka potensi korupsi baru dalam sistem subsidi energi nasional.

Dengan rangkaian kasus tersebut, jelas bahwa penangkapan para koruptor BUMN saja tidak cukup. Perlu reformasi struktural mulai dari penguatan regulasi, transparansi proses bisnis, hingga pembenahan budaya organisasi yang menolak kompromi terhadap praktik korupsi.

Tanpa perbaikan fundamental ini, aksi penangkapan besar hanya akan menjadi panggung sesaat yang tidak menyentuh akar persoalan korupsi sistemik di BUMN Indonesia.

Jakarta, 04 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi

Read Entire Article
Karya | Politics | | |