PAPUA - Posisi Egianus Kogoya, salah satu pimpinan kelompok bersenjata yang sebelumnya dikenal sebagai bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM), kini mulai dipertanyakan bahkan ditolak oleh sejumlah faksi dalam tubuh OPM itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh tindakan Egianus yang dinilai telah menyimpang jauh dari tujuan awal perjuangan, serta mencederai nilai-nilai yang selama ini diklaim diperjuangkan oleh kelompok tersebut. Senin 9 Juni 2025.
Tokoh adat dan pemuda Papua, Yonas Tabuni, secara tegas menyatakan bahwa sosok Egianus Kogoya tidak lagi pantas disebut sebagai pejuang Papua. Dalam wawancara singkat, ia menilai bahwa tindakan Egianus selama ini justru mempermalukan perjuangan rakyat Papua di mata dunia internasional.
"Apa yang dilakukan Egianus bukan perjuangan, tapi kekerasan yang membabi buta. Membunuh guru, membakar sekolah, menculik warga sipil itu bukan cara pejuang, itu perbuatan yang mempermalukan kami semua, " tegas Yonas, Senin (9/6/2025).
Yonas juga menambahkan bahwa banyak masyarakat Papua yang kini mulai membuka mata, bahwa kekerasan bukan jalan keluar, dan mereka tidak lagi ingin dikaitkan dengan sosok Egianus dan kelompoknya yang kerap menimbulkan teror.
Sementara itu, pengamat keamanan dari Universitas Cenderawasih, Dr. Semuel Wonda, mengungkapkan bahwa fenomena penolakan terhadap Egianus Kogoya menjadi indikator terjadinya perpecahan dalam tubuh OPM.
Menurutnya, sudah ada perbedaan pandangan yang mencolok antara kelompok tua yang cenderung ideologis dengan kelompok muda yang lebih pragmatis dan oportunis.
"Egianus dianggap telah membawa OPM ke arah kekerasan tanpa arah. Banyak faksi di dalam tubuh OPM, terutama yang berada di luar negeri, kini mulai mengkritik keras pendekatan yang dilakukan oleh kelompok Egianus. Ini bukan lagi perjuangan politik, tapi tindakan kriminal, " jelas Dr. Semuel.
Dengan semakin banyaknya suara dari dalam tubuh OPM yang menolak kepemimpinan Egianus Kogoya, arah gerakan separatis di Papua tampaknya mulai mengalami pergeseran.
Masyarakat Papua dan berbagai elemen kini menuntut perubahan bukan dalam bentuk kekerasan, tetapi lewat dialog, pembangunan, dan persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (*/Red)