Belajar dari Negara Tetangga: Jalan Menuju ‘Pensiun Dini’ PLTU

6 hours ago 4

OPINI -   Saat dunia berpacu menuju energi bersih, isu pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) menjadi sorotan di banyak negara. Di Asia Tenggara, beberapa negara mulai menata ulang arah energi mereka dengan mengambil langkah berani dalam mengurangi ketergantungan pada batu bara. Sementara itu, Indonesia masih tertatih-tatih di jalur transisi ini.

Vietnam menjadi salah satu contoh yang patut dicermati. Melalui Power Development Plan VIII (PDP8) yang dirilis pada 2023, Vietnam menargetkan tidak akan membangun PLTU baru setelah 2030 dan berkomitmen mengurangi peran batu bara secara bertahap (PDP8, 2023). Dalam perencanaan ini, Vietnam juga berfokus pada peningkatan energi terbarukan seperti angin lepas pantai dan tenaga surya, sambil menjajaki kemungkinan pensiun dini untuk beberapa PLTU tua yang dianggap tidak efisien.

Thailand pun telah menempuh jalur serupa. Dalam Thailand Power Development Plan 2022–2037, mereka menyatakan rencana untuk menghapus secara bertahap PLTU batu bara dan memperluas portofolio energi bersih hingga 50?ri bauran energi nasional pada 2040. Mereka juga mulai menerapkan sistem penetapan harga karbon secara bertahap, mendorong industri untuk berpindah dari energi fosil (TPDP, 2022).

Filipina menjadi negara ASEAN pertama yang secara resmi melarang pembangunan PLTU baru tanpa teknologi carbon capture and storage (CCS) sejak 2020. Keputusan ini dikawal dengan moratorium yang berlaku efektif untuk pembangkit baru, sementara dukungan terhadap energi surya dan mikrohidro meningkat signifikan (DOE Philippines, 2021).

Berbeda dengan negara-negara tersebut, Indonesia masih menjadi negara dengan proyek PLTU batu bara terbesar di Asia Tenggara. Kontrak jangka panjang (PPA) dan dominasi perusahaan tambang batu bara dalam ekonomi politik membuat pensiun dini menjadi langkah yang sangat kompleks. Walau Indonesia telah merilis skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai USD 20 miliar, realisasi pensiun dini masih tersendat (IESR, 2024).

Menurut analisis Institute for Essential Services Reform (IESR), dari seluruh PLTU di Indonesia, sekitar 70% menggunakan teknologi usang dan beremisi tinggi. Namun tidak ada satu pun yang secara resmi dijadwalkan untuk dipensiunkan dalam waktu dekat melalui JETP. Padahal, laporan IEA menunjukkan bahwa untuk mencapai net-zero emission pada 2060, Indonesia perlu mempensiunkan 9–13 GW PLTU sebelum 2030 (IEA, 2022).

Pengamat lingkungan dari Universitas Gadjah Mada, Arief Wijaya, menilai bahwa Indonesia bisa belajar dari Filipina dan Vietnam. "Kuncinya bukan hanya pada pendanaan, tapi keberanian politik untuk membalik arah kebijakan energi dan memberi sinyal yang tegas pada investor dan pelaku industri, " ujar Arief, yang juga Direktur Climate Policy Initiative Indonesia.

Kawasan ASEAN kini ibarat cermin bagi Indonesia. Di tengah kompetisi regional menuju ekonomi hijau, negara yang gagal beradaptasi dengan transisi energi akan tertinggal secara teknologi, keuangan, dan legitimasi global. Beberapa PLTU tertua di Indonesia, seperti di Sumatera Selatan dan Lampung, masih beroperasi hingga kini. Sumatera Barat sendiri masih menggantungkan sebagian pasokan listriknya dari sistem interkoneksi yang bersumber dari PLTU batu bara. Jika negara tetangga bisa mulai melepas ketergantungan dari PLTU, Indonesia pun seharusnya bisa—asal ada komitmen yang jelas dan kepemimpinan yang berani.

Kesimpulan :

Langkah pensiun dini PLTU bukan lagi idealisme, tetapi strategi cerdas dalam peta energi masa depan. Negara-negara tetangga di ASEAN seperti: Vietnam, Thailand, dan Filipina menunjukkan bahwa jalan ini mungkin dan diperlukan. Kini, giliran Indonesia untuk tak hanya bicara transisi, tetapi benar-benar berjalan menuju energi bersih yang berkelanjutan dan berkeadilan. Bukan persoalan pendanaan tapi keberanian Poiltik.

Oleh: indra Gusnady, SE, M.Si

Read Entire Article
Karya | Politics | | |