Belajar dari Jepang: Sekolah Bukan Pabrik Nilai

8 hours ago 6

OPINI -   Bayangkan sebuah ruang kelas tanpa ujian, tanpa stres nilai rapor, dan tanpa petugas kebersihan. Di Jepang, ruang kelas seperti itu nyata. Sekolah-sekolah dasar di sana tidak diburu untuk mencetak juara kelas, melainkan membentuk manusia seutuhnya.

Selama tiga tahun pertama, anak-anak Jepang tidak menjalani ujian akademik. Fokus pendidikan diberikan pada hal-hal yang tak tercetak di rapor: sopan santun, rasa hormat, tanggung jawab, ketepatan waktu, dan kepedulian terhadap lingkungan. Anak-anak dilatih menyapu kelas, membersihkan toilet, dan berbagi makan bersama guru. Bukan sekadar kebiasaan, ini adalah pendidikan sosial yang menyentuh akar.

Bandingkan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang masih banyak menekankan pada hasil akademik. Sejak dini, anak-anak dijejali target nilai dan peringkat. Padahal, pendidikan bukan soal siapa paling cepat menjawab soal, melainkan siapa paling peka terhadap sesama.

Jepang membuktikan, ketika karakter menjadi prioritas, hasil akademik akan menyusul dengan sendirinya. Tingkat kehadiran siswa tinggi, motivasi belajar kuat, dan disiplin menjadi budaya. Pendidikan dipandang sebagai proses membentuk warga negara, bukan sekadar pemenang ujian.

Indonesia sebenarnya punya semangat yang serupa. Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) pernah menjadi agenda nasional. Namun, pelaksanaannya kerap tertahan oleh sistem evaluasi yang masih berorientasi angka. Kurikulum Merdeka membawa angin segar, tapi belum sepenuhnya membebaskan sekolah dari logika "pabrik nilai".

Kita perlu meninjau ulang makna sekolah. Apakah sekolah hanya tempat mencetak ranking, atau ruang membentuk empati? Apakah pendidikan mengejar angka, atau menumbuhkan jiwa?

Belajar dari Jepang bukan berarti mengadopsi sistem mereka sepenuhnya. Namun, kita bisa mengambil semangat dasarnya: bahwa membentuk manusia lebih penting daripada sekadar menguji pengetahuannya.

Sudah saatnya sekolah kita mengubah arah. Dari pabrik nilai, menjadi taman tumbuhnya karakter.

Oleh: Indra Gusnady

Read Entire Article
Karya | Politics | | |