PAPUA - Di tengah hutan belantara dan pegunungan Papua, ada kenyataan pahit yang dihadapi oleh banyak warga: ancaman dari kelompok separatis bersenjata, Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang memaksa mereka untuk bergabung bukan karena keinginan, melainkan karena tekanan dan intimidasi yang tak terelakkan. Dalam beberapa tahun terakhir, laporan yang terus mengalir menunjukkan betapa banyak masyarakat yang terperangkap dalam situasi ini, memaksakan mereka untuk membuat pilihan hidup yang sangat berat. Sabtu 26, April 2025.
Keberadaan OPM di Papua tidak hanya menambah keresahan, tetapi juga merusak tatanan sosial yang telah terjalin di masyarakat. Warga yang seharusnya menikmati kedamaian kini dipaksa hidup dalam ketakutan. Di daerah-daerah pedalaman, banyak yang merasa terpaksa tunduk pada kelompok bersenjata tersebut demi keselamatan diri dan keluarga mereka. Tak jarang, mereka yang menolak menghadapi ancaman pembunuhan atau penganiayaan.
Seorang tokoh masyarakat di Kabupaten Intan Jaya, yang memilih untuk tidak disebutkan namanya demi alasan keamanan, mengungkapkan penderitaan yang dialami oleh keluarga-keluarga di kampungnya. “Mereka tidak punya pilihan lain. Kalau menolak, mereka diancam. Kalau lapor ke aparat, mereka dianggap pengkhianat dan disiksa. Jadi banyak yang memilih diam dan ikut saja walau hati menolak, ” ungkapnya, Sabtu (26/04/2025).
Fenomena ini telah menjadi masalah yang berlarut-larut. Lembaga HAM lokal dan aparat keamanan melaporkan bahwa OPM seringkali menggunakan kekerasan untuk memperluas pengaruh mereka, dengan menyasar pemuda dan kepala keluarga di kampung-kampung terpencil. Mereka yang menolak sering kali menjadi korban fisik atau keluarganya dijadikan "tameng hidup" dalam konflik bersenjata yang tak kunjung usai.
Salah satu mantan anggota OPM, yang kini telah menyerahkan diri kepada aparat keamanan dan berinisial Y.M., menceritakan bagaimana dirinya dipaksa bergabung dengan kelompok tersebut. “Saya hanya petani biasa. Tapi mereka datang ke kampung, ancam akan bakar rumah dan bunuh keluarga kalau saya tidak ikut. Mau bagaimana? Saya akhirnya ikut, tapi hati saya tidak tenang, ” katanya dengan wajah penuh penyesalan saat ditemui di lokasi pembinaan eks-kombatan.
Kisah Y.M. adalah salah satu dari banyak cerita yang menyoroti betapa sulitnya hidup di bawah bayang-bayang kekerasan. Tidak hanya fisik, namun tekanan mental dan emosional yang dialami masyarakat yang terpaksa bergabung dengan OPM juga sangat menghancurkan. Di tengah upaya pemerintah untuk menciptakan perdamaian, masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mengembalikan kedamaian yang sejati di tanah Papua.
Kondisi ini menegaskan betapa pentingnya peran negara dalam melindungi warga dari ancaman kekerasan, dan membangun dialog yang dapat membuka jalan bagi mereka yang terjebak dalam kekerasan untuk kembali ke kehidupan yang damai. Ke depan, penguatan pendekatan kemanusiaan dan penyelesaian konflik yang berbasis pada dialog dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat menjadi kunci untuk mengakhiri penderitaan yang sudah terlalu lama berlangsung. (APK/Red1922)