PAPUA - Di balik indahnya hamparan pegunungan Papua, ada jeritan sunyi yang selama ini tersembunyi: rakyat hanya ingin hidup damai, tanpa ancaman dari kelompok separatis bersenjata. Masyarakat di wilayah-wilayah rawan konflik seperti Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, dan Puncak, telah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang teror Organisasi Papua Merdeka (OPM). Selasa 6 Mei 2025.
Bukan ambisi, bukan kekuasaan yang mereka harapkan hanyalah kehidupan yang sederhana: membangun kampung, menyekolahkan anak, berkebun, dan pulang ke rumah tanpa rasa takut. Namun realita berkata lain. Ancaman senjata, penculikan, penyanderaan, bahkan pembunuhan, menjadi bayang-bayang kelam yang menghantui setiap langkah mereka.
Di Distrik Tinggi Nambut, Kabupaten Puncak Jaya, harapan kembali bersemi saat aparat keamanan hadir dengan pendekatan humanis. Bapak Yulianus Tabuni, tokoh adat setempat, menyampaikan suara hati warganya yang telah lama terbungkam.
"Kami hanya ingin tenang, OPM selalu datang memaksa kami ikut. Kami tak ingin perang, kami ingin hidup."
Suara senada datang dari Kabupaten Nduga. Maria Wenda, seorang ibu rumah tangga, berbicara dengan nada getir tentang ketidakpastian yang terus menghantui hidup mereka.
"Kami tak tahu apakah suami akan pulang atau ditembak. Kami hanya ingin hidup seperti warga Indonesia lainnya."
Aksi kekerasan OPM telah meluluhlantakkan fasilitas publik, memaksa guru dan tenaga kesehatan pergi, dan membuat anak-anak kehilangan akses pada pendidikan yang layak. Di tengah bayang-bayang konflik itu, yang bertahan hanyalah harapan.
Harapan itu kini bergantung pada upaya kolektif: aparat yang hadir melindungi dan merangkul, pemerintah yang konsisten membangun dan mendengarkan, serta masyarakat Indonesia yang tidak melupakan bahwa Papua adalah bagian dari jiwa bangsa ini.
Papua tidak meminta banyak hanya ingin damai. Dan itu adalah hak, bukan permintaan. (APK/Red1922)