Penggiat Rumah Perjuangan 145 Sebut Pejabat Publik Berbasis Media Sosial Jebakan Sensasi Tanpa Substansi

4 hours ago 3

PANGANDARAN JAWA BARAT - Pola kepemimpinan pejabat publik melalui aksi teatrikal depan kamera yang diramu menjadi sebuah konten lalu disajikan di berbagai media sosial berpotensi jadi jebakan sensasi tanpa substansi.

Aksi tersebut kini menjadi pilihan pejabat publik dan beberapa Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati atau Walikota untuk mengejar popularitas.

Para pejabat publik dan Kepala Daerah sering menggunakan media sosial dengan berbagai sajian aksi turun ke masyarakat disajikan dalam bentuk konten di media sosial mengupas kehidupan keseharian rakyat kecil.

Awalnya aksi teatrikal oleh pejabat publik dan Kepala Daerah dengan metode konten di media sosial mendapat respons yang menarik, namun seiring perkembangan waktu masyarakat mulai jenuh lantaran banyak yang tidak memiliki makna yang substansial.

Justeru karena terlalu banyak sajian konten yang diracik oleh tim creator, akhirnya keaslian kegiatan pejabat publik dan Kepala Daerah diragukan masyarakat dan bisa disimpulkan hanya untuk mengejar popularitas semu semata.

Mungkin banyak ketidaksesuaian antara konten yang disajikan di media sosial dengan dampak nyata dari kebijakan dan keputusan yang dilakukan.

Masyarakat kini banyak yang memberikan penilaian biasa saja, bahkan tidak ada yang istimewa ketika menyaksikan konten media sosial yang dilakukan oleh pejabat publik dan Kepala Daerah, karena yang dibutuhkan adalah jawaban nyata melalui program.

Asep Saepudin penggiat Rumah Perjuangan 145 Pangandaran mengatakan, pola konten di media sosial yang ditampilkan didepan kamera justru mengaburkan fokus utama dari seorang pemimpin, yakni memperjuangkan kebijakan yang adil dan berkelanjutan.

"Setiap pemimpin memang butuh tampil di publik, tapi kalau semua dijadikan konten, lama-lama masyarakat jenuh, rakyat itu butuh perhatian nyata, bukan suruh menyaksikan tontonan di media sosial, " kata Asep, Jum'at (20/6/2025).

Asep menambahkan, dirinya merasa khawatir pendekatan kepemimpinan melalui media sosial jadi jebakan rakyat bakal dibawa pada hayalan dan ruang sensasi daripada edukasi politik yang sehat.

"Konten di media sosial itu, bisa disebut sebagai aggressive populism karena yang dimainkan oleh pembuat konten emosi publik, namun belum tentu selaras dengan upaya membangun struktur kebijakan yang kokoh dan partisipatif, " tambah Asep.

Dijelaskan Asep, iklim politik yang semakin pragmatis, pemilih sering kali terseret oleh visualisasi dan narasi yang menyentuh hati, bukan rekam jejak atau program nyata.

"Pemimpin itu bukan hanya soal bagaimana tampil menyentuh hati rakyat, tapi bagaimana membuat keputusan yang berdampak adil dan nyata untuk jangka panjang, " pungkasnya (*)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |