OPINI - Indonesia adalah negeri kaya yang masih bergulat dengan kemiskinan dan ketimpangan. Sumber daya alam berlimpah—dari nikel, batu bara, gas, hingga hutan tropis. Tapi kekayaan itu tak mengalir deras ke rakyat. Yang menikmati justru segelintir elite. Ini paradoks klasik, sebagaimana disebut dalam buku Paradoks Indonesia karya Prabowo Subianto.
Ia menyoroti ironi: negeri kaya dengan rakyat miskin. Ketimpangan menahun. Satu persen orang menguasai lebih dari sepertiga kekayaan nasional. Sistem ekonomi yang timpang dibiarkan hidup subur karena tata kelola yang lemah dan kepemimpinan yang setengah hati. Bukan kekurangan sumber daya, melainkan salah urus yang sistemik.
Problem utamanya adalah ekonomi ekstraktif yang tidak menciptakan nilai tambah. Indonesia lebih suka mengekspor bahan mentah dan membeli produk jadi dengan harga berlipat. Ketika harga komoditas anjlok, ekonomi nasional limbung. Sementara saat harga tinggi, keuntungan hanya dinikmati segelintir pengusaha besar dan birokrat yang terafiliasi.
Realita terkini mempertegas masalah ini. Meski Indonesia menjadi eksportir utama nikel dunia, industri hilirisasi dalam negeri masih didominasi oleh investor asing. Pemerintah menggembar-gemborkan pembangunan smelter, tetapi keuntungan riil belum banyak dinikmati rakyat. Bahkan laporan Bank Dunia tahun 2024 menyebutkan bahwa manfaat hilirisasi belum sebanding dengan dampak lingkungan dan ketimpangan wilayah yang ditimbulkannya.
Ini mencerminkan fenomena "resource curse" atau kutukan sumber daya—sebuah istilah ekonomi yang menggambarkan kondisi di mana negara kaya sumber daya justru terjebak dalam pertumbuhan stagnan, korupsi tinggi, dan ketergantungan pada ekspor komoditas.
Bandingkan dengan Botswana. Negara di Afrika ini sukses mengelola tambang berlian dengan transparansi dan kontrak yang adil, lalu menginvestasikan keuntungannya untuk pendidikan dan kesehatan. Chile membentuk dana stabilisasi dari ekspor tembaga untuk mengantisipasi fluktuasi harga global. Malaysia berhasil melakukan hilirisasi sawit dan migas. Norwegia menyulap hasil minyak menjadi dana abadi rakyat. Uni Emirat Arab membangun universitas dan pusat teknologi untuk keluar dari ketergantungan energi fosil.
Indonesia? Hilirisasi baru sebatas jargon. Proyek-proyek strategis jalan, tapi industri dasar tertatih. Kebijakan fiskal longgar, sementara belanja pendidikan dan riset masih minim. Tak heran, ketergantungan pada bahan mentah tetap tinggi, dan ketimpangan ekonomi makin menganga. Negara lebih sibuk melayani kepentingan korporasi ketimbang mengurus kebutuhan rakyat banyak.
Prabowo menawarkan arah yang lebih berdaulat: bangun industri nasional, kuatkan pertanian, perkuat BUMN, dan distribusikan nilai tambah ke seluruh lapisan masyarakat. Tapi ide besar tak berarti tanpa keberanian politik. Butuh pemimpin dengan visi panjang, bukan sekadar pencitraan jangka pendek. Negeri ini butuh keberpihakan yang tegas—bukan netralitas semu yang menguntungkan status quo.
Beberapa langkah perbaikan kebijakan praktis dapat dicontoh dari negara-negara yang berhasil keluar dari jebakan sumber daya alam. Norwegia menetapkan prinsip keterbukaan dan membentuk 'sovereign wealth fund (SWF)' sebagai penyangga fiskal jangka panjang. Chile memberlakukan aturan ketat untuk menyalurkan surplus ekspor ke dana cadangan negara dan hanya digunakan untuk pembangunan SDM. Botswana menjaga stabilitas ekonomi dengan kontrak yang adil dan penguatan kelembagaan.
Indonesia perlu meniru pendekatan ini: buat lembaga pengelola kekayaan negara yang transparan, perkuat pengawasan dalam tata kelola SDA, dan alihkan surplus ekspor untuk membiayai pendidikan, riset, serta transformasi energi. Kebijakan fiskal juga harus disiplin, berbasis data, dan berpihak pada pembangunan berkelanjutan.
Kesimpulan:
Paradox Indonesia bukan takdir. Ia bisa diubah jika ada kemauan untuk membenahi tata kelola, membangun industri dalam negeri, dan mengedepankan investasi jangka panjang pada sumber daya manusia. Butuh keberanian untuk melawan kenyamanan lama dan membongkar sistem yang timpang. Tanpa langkah radikal dan kepemimpinan yang berpihak, Indonesia akan terus jadi negeri kaya yang membiarkan rakyatnya menggantungkan harapan pada janji semu.
Oleh: Indra Gusnady, SE, M.Si