Mengisi Kemerdekaan dengan Harmoni

4 hours ago 2

JAKARTA - Kita tentu masih ingat alinea ketiga dalm pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945, pada naskah itu tertulis: “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorongkan oleh keinginan luhur, ..” Mengapa kita ingat terus? Karena kalimat-kalimat dalam pembukaan konstitusi itu selalu dibacakan dalam peringatan hari kemerdekan. Para pendiri sangat yakin bahwa anugerah dan kasih sayang Tuhan mendasari diraihnya kemerdekaan Indonesiao 80 tahun lalu, ketika didorong dengan keinginan luhur seluruh rakyat Indonesia.

Keyakinan semacam ini semoga terus terjaga hingga kini, karena anugerah Tuhan itu buat bangsa Indonesia juga meliputi keragaman budaya masyarakatnya yang justru menjadi satu energi yang mendorong dinyatakannya kemerdekaan kita. Keragaman di beberapa tempat di dunia – sebagaimana kita ketahui bersama – justru bisa menjadi energi yang memisahkan sebagaimana dialami dengan pecahnya Uni Soviet. Meski berbagai analisis bisa dibuat, tapi sejatinya  keragaman itu tak mampu dipersatukan baik dengan ideologi komunis yang jadi atau kepentingan lainnya.

Keragaman di Indonesia itu bahkan dipisahkan oleh daratan dan lautan yang membentang luas dari Aceh hingga Papua. Aneka unsur budaya, bahasa, mata pencaharian, kesenian, dan keagamaan masyarakat adalah nyata jadi faktor pemersatu, bukan pemisah rakyat dan bangsa Indonesia. Namun begitu, kita mesti sadar bahwa perbedaan itu tetap menjadi potensi yang bisa memecah-belah bangsa. Sampai di sini kita beruntung memiliki Ideologi Pancasila, yang di sila ketiga disebutkan Persatuan Indonesia.

Membangun harmoni adalah jalan yang perlu ditempuh meski itu berkelok dan terjal. Harmoni tidak memaksa diri menjadi sama, tapi membiarkan perbedaan itu menjadi faktor dinamis dalam interaksi antar warga bangsa. Disebut jalan terjal dan berkelok, upaya membangun harmoni di masa kini menjadi makin menantang karena melubernya informasi yang merembes di jejaring sosial masyarkat Indonesia melalui media sosial. Tantangan ini harus dihadapi dan jadi penguat keterikatan semua warga bangsa.

Disetiap sudut jalan yang berkelok itu kita bisa menemukan berbagai tanda dari aneka informasi yang makin menjauhkan dari tujuan bangsa ini merdeka: bersatu, sejahtera, cerdas, dan mejaga ketertiban dunia. Disintegrasi akan terjadi ketika muncul konflik yang tidak teratasi, padahal sejatinya konflik itu cuma perlu diresolusi melalui aktivitas komunikasi. Prasyarat bagi resolusi konflik melalui komunikasi adalah menempatkan kepentingan bersama lebih utama dari kepentingan individu/kelompok/golongan. Bukan perkara mudah membangun kesadaran bahwa kepentingan bersama itu lebih utama dibandingkan kepentingan sepihak, mengingat kita dibekali oleh id dan ego – sementara sebagai bangsa kita perlu super ego - sebagaimana dikemukakan penggagasnya: Freud.  

Jalan mendaki yang ditapaki bersama adalah realitas demi menggapai kondisi yang lebih baik di masa depan. Selain terdapat bagian dari warga sendiri yang kemudian membebani, juga terdapat lingkungan yang tidak rela sebuah bangsa mencapai cita-cita kesejahteraan. Di antara warga sendiri itu ada yang melakukannya dengan sadar, tapi tak sedikit yang memang tak punya sumberdaya melepaskan beban, seperti mereka yang tergolong ke dalam kelompok miskin. Buat mereka yang dengan sengaja membebani, padahal punya sumberdaya, maka yang bisa dilakukan adalah pendidikan kebangsaan – hingga pada akhirnya penegakan hukum yang adil.

Pendidikan kebangsaan mesti jadi pilihan pertama, dan ini meliputi berbagai jalur pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Di sekolah dan di masyarakat, pendidikan kebangsaan itu menjadi sangat penting. Di sini akan disebut sebuah contoh tentang keberagamaan. Nilai dasar agama tentang relasi Tuhan – Manusia, mesti diletakkan dalam kerangka sosial yang nyata, seperti mencuri yang dilarang Tuhan itu berdampak pada kemiskinan ketika jadi bentuk korupsi terhadap keuangan negara yang sudah didedikasikan buat berlanja masyarakat miskin. Ini terjadi dalam: korupsi Bansos.

Penegakan hukum juga ditempatkan dalam kerangka besar pendidikan kebangsaan. Akan juga disebut di sini sebuah contoh: betapa perundungan (bullying) itu mesti di hindari baik secara perilaku ataupun verbal demi menjungjung tinggi nilai kemanusiaan yang tersurat dalam sila ke-2 Pancasila. Buat para pelakunya, sudah sepatutnya diberikan hukuman setimpal/adil sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Masih banyak lagi contoh perilaku yang bisa dikategorikan sebagai tindakan melanggar hukum, ketika itu ditemukan bukti-buktinya maka diganjar hukuman yang adil.

Harmoni, sekali lagi mesti didasari pada kesadaran bersama bahwa kepentingan masyarakat banyak lebih utama dibandingkan kepwentingan pada tataran individu/golongan. Dan upaya menuju harmoni ini perlu dasar yang kuat tentang pemahaman kesetaraan antar manusia. Manusia yang setara, meskipun berbeda dari berbagai kategori sosial, mereka punya keinginan yang sama dengan keinginan awal Indonesia merdeka, yakini “ dengan didorongkan oleh keinginan luhur”.

Dapat disimpulkan bahwa ketika bertekad memerdekakan diri awalnya, hingga usia kemerdekaan mencapai 80 tahun, sehingga kini ketika kita terus mengisi kemerdekaan tetap berlandaskan pada ketuhanan, nilai-nilai kemanusian, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Perenungan ini mesti mengejawantah dalam tindakan nyata pendidikan kebangsaan yang holistik dan diikuti segenap warga bangsa tanpa pandang bulu.

Penulis: Asrul M. Mustaqim (Dosen Pasca Sarjana IISIP Jakarta)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |