Konspirasi Sunyi: Lembaga Formal Berdiri Kokoh tapi Rapuh di Pondasi

3 hours ago 3

PANGANDARAN JAWA BARAT - Di tengah gemerlap panggung kekuasaan, lembaga-lembaga formal berdiri megah dengan tata cara yang terlihat sempurna. Sopan santun dijaga, protokol ditegakkan, dan setiap kata dibungkus dalam balutan kehormatan. 

Dari luar, semuanya tampak baik-baik saja-tertib, anggun, dan berwibawa. Seolah inilah wujud kepercayaan yang pantas dijaga.

Tapi sesungguhnya, ada yang diam-diam terabaikan.
Di balik tembok rapat rapat itu, ada luka yang tak terlihat. Sistem berjalan dengan pincang, tapi semua seolah sepakat untuk tidak melihat. 

Kesalahan demi kesalahan tak dibenahi, hanya dibungkam bersama. Hal-hal yang semestinya menjadi alarm peringatan justru dibiasakan, asal semua merasa aman dan peran-peran tak terusik. Lembaga pun menjelma seperti rumah megah yang retak dari dalam-berhias di luar, tapi rapuh di pondasi.

Yang paling menyedihkan, kekompakan tak lagi lahir dari nilai dan kejujuran, tapi dari kesepakatan diam untuk tetap nyaman. 

Diam menjadi mata uang baru. Berani bicara dianggap pembuat gaduh. Kebenaran menjadi sesuatu yang mengganggu, bukan yang dijaga. Maka membusuk lah lembaga itu perlahan tanpa bau, tanpa tanda, tapi pasti.

Pertanyaan publik tak bisa terus diabaikan, apakah lembaga formal hanya ada untuk menjaga wajah, atau untuk merawat nilai dan kepercayaan? 

Apakah kehormatan yang dipertontonkan itu lahir dari kedalaman yang tulus, atau hanya kulit luar dari sistem yang sedang kehilangan arah?

Kini yang dibutuhkan bukan lagi kepandaian beretorika, tetapi keberanian untuk melihat ke dalam diri sendiri. Keberanian untuk mengakui bahwa ada yang salah, dan bahwa perbaikan bukanlah kelemahan-melainkan kekuatan sejati.

Lembaga yang hanya sibuk menjaga penampilan akan kehilangan ruhnya. Ia akan menjadi simbol tanpa makna, gedung tanpa jiwa, nama tanpa kepercayaan.

Sejarah telah memberi cukup banyak pelajaran, sistem yang dibangun di atas kepura-puraan selalu runtuh, cepat atau lambat. Lembaga yang menolak mendengar suara jujur dari dalamnya sendiri, hanya sedang menghitung waktu menuju kehancuran.

Menjaga citra itu penting, tapi tanpa kejujuran, citra hanyalah topeng. Kepercayaan yang sudah pergi karena terkhianati, biasanya tak mudah kembali  meski seribu janji dikumandangkan. (Nanmul Umam) 

Read Entire Article
Karya | Politics | | |