WISATA - Tak semua cerita tentang pariwisata di Bali membawa kabar bahagia seperti dalam film Eat, Pray and Love. Di sosial media kerap kita jumpai video-video “menjengkelkan” tentang turis asing, mulai dari pelanggaran lalu-lintas, perbuatan onar, hingga berlaku tak senonoh di situs yang disucikan warga lokal.
Yang lebih menyakitkan, banyak dari mereka beralasan “tidak tahu” atau “mengira ini tidak masalah”. Padahal Bali bukan panggung bebas; ia adalah rumah bagi jutaan jiwa yang hidup dengan adat, spiritualitas, dan rasa hormat terhadap leluhur. Ketidaktahuan bukan lagi alasan ketika informasi tersedia di setiap sudut bandara, hotel, hingga papan pengumuman desa.
Fakta mencatat, sudah begitu banyak turis asing telah dideportasi dari Bali karena melanggar norma sosial dan hukum. Diantaranya bahkan banyak yang bekerja secara ilegal, atau jaringan kriminal internasional.
Perihal ini menjadi pemicu turismofobia dan akan menjadi tantangan yang akan berkembang selanjutnya. Turismofobia menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari pertumbuhan sektor pariwisata. Masyarakat merespons secara alami dampak negatif dari overtourisme akibat adanya tekanan pada lingkungan dan budaya yang mengarah pada “komodifikasi” budaya dan kerusakan lingkungan. Selain itu, ketimpangan ekonomi yang terjadi akibat “dominasi” investasi perusahaan asing semakin memicu resistensi dari masyarakat.
Namun demikian, turismofobia bukanlah sesuatu yang tidak bisa kita kelola dengan baik.
Sekalipun turismofobia muncul seiring pertumbuhan pariwisata, fenomena ini bukanlah konsekuensi yang mutlak. Dengan pengelolaan yang tepat, dampak negatif dapat diminimalkan, sehingga pariwisata tetap memberikan manfaat tanpa memicu konflik.
Model Pariwisata berkelanjutan perlu didorong oleh pemerintah dengan mengutamakan peningkatan kualitas daripada kuantitas. Paralel, Diversifikasi Destinasi melalui pengalihan wisatawan ke destinasi kurang populer seperti Wakatobi, Danau Toba, atau Sabang dapat mengurangi tekanan di Bali, Labuan Bajo, dan Yogyakarta, sekaligus mendistribusikan manfaat ekonomi ke daerah lain, sehingga kebijakan pajak turis di Bali yang telah berjalan saat ini dapat menjadi langkah awal untuk mendukung pendanaan pelestarian lingkungan dan budaya sekaligus mendongkrak peningkatan ekonomi lokal.
Poin krusial selanjutnya adalah peran imigrasi dalam mencegah turismofobia di Indonesia.
Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan sebagai pemegang “otoritas” imigrasi memiliki kewenangan dalam mengatur masuknya wisatawan mancanegara, memantau perilaku mereka selama berada di Indonesia, dan menegakkan aturan yang dapat mengurangi dampak negatif overtourisme melalui; seleksi ketat saat masuk ke Indonesia, penerapan kebijakan kuota wisatawan, penegakan aturan terhadap perilaku wisatawan dan mengedukasi wisatawan di titik masuk melalui kolaborasi dengan pemerintah daerah dan komunitas lokal.
Dengan kewenangan tersebut, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan secara otomatis membantu mengurangi perilaku wisatawan yang memicu konflik pelanggaran norma budaya atau kerusakan lingkungan, sekaligus menjaga harmoni dengan masyarakat lokal dalam menghadapi tekanan overtourisme.
Ketika pengelolaan pariwisata dapat dikelola dengan baik, tidak hanya mampu menarik wisatawan, tetapi juga dapat menjaga harmoni bersama masyarakat, ini menjadi kunci dalam menciptakan keseimbangan antara menarik wisatawan dan komunitas masyarakat, sehingga meminimalkan fenomena turismofobia.
Jakarta, 30 Juli 2025
Ir. H. Abdullah Rasyid, ME.
Penulis adalah Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Bidang Komunikasi dan Media