Taukah Kamu, Aku Cinta Kamu

5 hours ago 5

Agam-Aku masih ingat pertama kali melihatmu. Siang itu panas, matahari menari di atas genting, memantulkan cahaya yang memaksa orang-orang menunduk menutupi wajah. Aku berdiri di tepi jalan, menunggu angkot yang tak kunjung datang.

Saat itulah mobil dinasmu melintas. Mobil putih dengan pelat nomor merah berhenti sejenak karena macet. Kau duduk di kursi belakang, mengenakan batik dengan corak pucuk rebung, matamu menatap ke luar jendela. Entah mengapa, meski hanya sekilas, pandangan itu seakan menembus dadaku.

Aku tak tahu siapa kamu saat itu. Hanya seorang lelaki dengan mata tajam, penuh wibawa, namun ada lembut yang menetes di sana.

Sejak hari itu, namamu mulai sering kudengar. Datuak — sebuah gelar adat yang memancarkan kehormatan. Dewan, katanya, wakil rakyat yang dipercaya membawa suara nagari ke ruang-ruang sidang. Kau semakin sering tampil di beranda media sosialku. Foto-foto pertemuan, peresmian jalan, penyerahan bantuan, dan berbagai agenda politik.

Aku mulai diam-diam mengikuti kabar tentangmu. Kadang aku menertawakan diriku sendiri. Mengapa harus jatuh pada sosok yang tak mungkin kugapai?

Aku hanya bisa mengintip dari beranda. Beranda rumahku yang sederhana, dan beranda virtual yang penuh dengan fotomu.


---

"Kenapa sering senyum sendiri, Nak?" tanya ibuku suatu sore, saat aku duduk di tangga kayu sambil menatap layar ponsel.
Aku tersentak, buru-buru menyembunyikan layar. "Nggak apa-apa, Bu. Lihat berita saja."
Ibu hanya mengangguk, matanya menatap jauh ke ladang di belakang rumah.

Kadang aku merasa berdosa. Mencintai seseorang yang sudah punya pelabuhan. Kau sudah punya rumah tempatmu pulang. Seorang istri yang setia menunggumu pulang rapat hingga larut, menyiapkan teh hangat, memijat bahumu saat lelah. Anak-anak yang memanggilmu dengan penuh bangga.

Aku?
Aku hanya bayangan di sudut beranda.

Namun entah kenapa, setiap kali kulihat matamu dalam foto, ada bisik lembut yang memanggil. Seolah-olah semesta berkata, "Tidak apa-apa, cintai saja diam-diam. Cinta tidak harus memiliki."


Malam-malamku panjang, dipenuhi percakapan imajiner denganmu.
"Bagaimana hari ini di kantor, Datuak?" tanyaku dalam hati.
"Capek, banyak aspirasi rakyat yang harus kudengar, " jawabmu, yang hanya hidup dalam imajinasiku.

Aku membayangkan duduk di sampingmu di sebuah pendopo kayu, angin sore berembus, bau kopi hitam mengepul di antara kita. Kau bercerita tentang sidang yang melelahkan, tentang harapan rakyat, tentang desa yang butuh jembatan, tentang anak-anak sekolah yang kau jumpai di kampung.

Aku hanya mendengar, tanpa menghakimi, tanpa menuntut.
Di sana, dalam anganku, aku merasa cukup.


---

Suatu hari aku nekat datang ke acara resesmu. Kau berdiri di podium, menyapa warga, mendengarkan keluh kesah. Aku berdiri di barisan belakang, menyembunyikan wajah di balik kerudung.

Ketika sorot matamu menyapu kerumunan, jantungku berdetak begitu keras, seakan bisa meledak kapan saja.

"Tetap semangat menjaga kampung kita. Kita bangun bersama, kita rawat bersama, " ucapmu lantang.

Aku menahan napas. Rasanya seperti mendengar puisi, meski kau tak sedang membacakan sajak.

Di akhir acara, kau berjalan melewati kerumunan, menyalami warga satu per satu. Tanganku gemetar. Aku ingin menjulurkan tangan, tapi tubuhku mematung. Kau lewat begitu dekat. Bahkan harum parfummu sempat singgah di hidungku.

Dan saat itulah aku sadar.
Cinta ini memang bukan untuk dimiliki.
Cinta ini cukup disimpan dalam hati, seperti embun yang menyapa dedaunan di pagi hari, lalu menghilang sebelum matahari tinggi.


Kini, setiap malam sebelum tidur, aku menuliskan namamu di buku catatan rahasiaku. Di sana, aku bebas memanggilmu, memelukmu, mendengar kisahmu, tanpa takut dihakimi dunia.

Terkadang aku membayangkan kita berjalan di pematang sawah, kau mengenakan saluak di kepala, aku memegang ujung kain songketmu. Kau tertawa, aku tertawa, dan dunia seolah diam di antara kita.

Tapi ketika fajar menyapa, aku kembali pada realitas. Kau tetap di sana, di samping istrimu, memeluk anak-anakmu. Dan aku? Kembali menjadi perempuan sunyi yang hanya bisa mengintip dari beranda.

Taukah kamu?
Aku cinta kamu.
Aku mencintaimu dalam diam yang paling senyap.
Dalam rindu yang tak pernah berujung.
Dalam doa yang hanya Tuhan dan langit yang tahu.

Aku mencintaimu tanpa harap, tanpa ingin.
Cukup melihatmu bahagia, aku pun ikut bahagia.
Karena terkadang, cinta tidak harus memiliki.
Cinta hanya butuh satu ruang di hati, yang diam-diam tumbuh subur, meski tak pernah kau sirami.

Aku akan tetap menulis tentangmu. Tentang matamu yang teduh, tentang wibawamu yang menenangkan, tentang langkahmu yang gagah.

Sampai kapan?
Sampai kelak, jika Tuhan berkenan, aku tak lagi mampu menulis namamu.

Taukah kamu?
Aku cinta kamu.
Dan itu tak akan pernah berubah.(Lindafang)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |