OPINI - Ketika Gojek dan Grab pertama kali meluncur di Indonesia, kehadiran mereka terasa seperti keajaiban. Dalam sekali sentuhan di layar ponsel, kita bisa memesan ojek, menghindari kemacetan, dan merasa aman karena pengemudinya terdaftar serta dapat dilacak. Bagi jutaan masyarakat, aplikasi ini bukan sekadar alat transportasi praktis, tetapi juga wujud nyata dari kemajuan teknologi di era digital.
Namun di balik kenyamanan itu, terdapat kisah yang sering terlewatkan. Kehadiran platform ojek online turut mengubah wajah ekonomi rakyat. Siapapun yang memiliki sepeda motor dan ponsel pintar bisa menjadi pengemudi — mulai dari mahasiswa, pencari kerja, hingga para pensiunan — mereka semua meramaikan geliat ekonomi gig yang serba fleksibel.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, wajah cerah itu mulai redup. Para pengemudi kini menghadapi tantangan besar: pendapatan yang terus menurun akibat perang tarif antar platform. Status mereka sebagai "mitra" membuat mereka tak berhak atas jaminan kesehatan, perlindungan sosial, atau dana pensiun. Kehidupan mereka diatur oleh algoritma — sistem tak kasat mata yang menentukan jumlah pesanan, bonus, bahkan keberlangsungan mereka di platform.
Apa yang dulu disebut sebagai pemberdayaan, perlahan berubah menjadi bentuk eksploitasi gaya baru.
Ini bukan berarti kita harus menolak keberadaan ojek online. Justru sebaliknya, layanan ini telah membawa banyak manfaat: mobilitas yang lebih efisien, kesempatan kerja yang terbuka, serta mempercepat transformasi digital di tengah masyarakat. Tapi kita juga harus jujur bahwa ekosistem ini butuh regulasi yang lebih adil dan berkeadilan sosial.
Para pengemudi berhak atas penghasilan yang layak dan perlindungan sosial yang memadai. Negara harus hadir dan berpihak untuk memastikan agar perkembangan teknologi tidak justru memperdalam jurang ketidakadilan yang selama ini ada.
Ojek online bisa menjadi solusi berkelanjutan bagi semua pihak — asalkan kita berani memastikan sistem ini berjalan lebih manusiawi. Kita tidak boleh menyia-nyiakan momentum ini untuk memperbaiki nasib jutaan pekerja di balik layar aplikasi.
Jakarta, 21 Juli 2025
Dr. NishaL Kaur Dhillon | Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI)