OPINI - Bayangkan anak-anak Indonesia di tahun 2045 bermain di bawah langit biru yang bersih, tanpa sesak oleh polusi. Bayangkan desa-desa yang hidup dari energi surya, kampung nelayan yang ditenagai angin, dan kota-kota yang tenang tanpa bising genset atau kabut asap. Sebuah negeri yang tidak hanya maju secara ekonomi, tapi juga ramah pada kehidupan.
Namun untuk sampai ke sana, kita harus berani memilih jalan hari ini: meninggalkan ketergantungan pada 'energi kotor', dan mempercayakan masa depan pada tangan generasi muda.
Menuju satu abad Indonesia merdeka, kita membawa harapan besar dalam peta perjalanan bangsa—menjadi negara maju yang adil, makmur, dan lestari. Tapi di balik visi besar itu, ada tantangan yang tak bisa kita abaikan: krisis iklim yang makin nyata, dan sistem energi nasional yang masih sangat bergantung pada batu bara.
Laporan Kementerian ESDM (2023) menyebut lebih dari 60 persen kapasitas listrik nasional masih ditopang oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Bahkan, sebagian PLTU ini terikat dalam kontrak jangka panjang yang menyulitkan percepatan transisi ke energi terbarukan (Global Energy Monitor, 2023).
Sementara dunia berpacu menuju emisi nol bersih, kita justru masih menambah jejak karbon.
Dalam diam, anak-anak muda di berbagai penjuru negeri mulai bergerak. Mereka lahir di tengah disrupsi, tumbuh dalam ekosistem digital, dan menyaksikan dampak krisis iklim sejak kecil. Mereka bukan hanya korban, tapi juga penentu arah masa depan.
UNICEF (2021) menyebutkan bahwa anak-anak hari ini akan menghadapi dampak krisis iklim empat hingga lima kali lebih besar dibanding generasi sebelumnya. Namun dari kampus-kampus dan komunitas kecil, mereka menciptakan harapan: panel surya sederhana, turbin angin mini di desa, aplikasi penghemat energi, hingga gerakan menanam pohon dan mengolah sampah. Gerakannya mungkin senyap, tapi dampaknya nyata.
Di tingkat nasional, mulai muncul startup hijau seperti Xurya yang digerakkan oleh profesional muda untuk mendorong pemanfaatan PLTS di sektor industri dan rumah tangga. Survei World Economic Forum (2023) bahkan mencatat, lebih dari 70 persen anak muda global ingin bekerja di sektor yang berdampak positif bagi lingkungan. Semangat itu tumbuh di sini, di Indonesia.
Sayangnya, langkah mereka belum sepenuhnya diberi ruang. Kebijakan masih berat sebelah. APBN 2024 mencatat alokasi subsidi energi sebesar Rp 339 triliun, mayoritasnya untuk energi fosil (Kementerian Keuangan, 2024). Sementara investasi untuk energi terbarukan stagnan di angka USD 1, 6 miliar per tahun, padahal idealnya kita butuh sekitar USD 25 miliar per tahun untuk memenuhi target net-zero emission pada 2060 (IESR, 2023).
Lebih dari itu, pembangunan PLTU baru masih berlangsung atas dasar "jaminan pasokan" dan kepentingan jangka pendek, alih-alih keberlanjutan. Banyak dari kontrak energi tersebut mengunci negara dalam skema 'take or pay', membuat listrik dari 'energi kotor' tetap dibeli meskipun tak dibutuhkan—sebuah ironi dalam era yang mendesak kita untuk berubah.
“Transisi energi bukan soal panel surya, tapi soal siapa yang punya masa depan, ” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam forum Energi Bersih 2023. Kita harus mulai melihat energi sebagai hak warga, bukan sekadar urusan korporasi besar.
Transisi energi tidak boleh hanya menjadi proyek teknologi elite di pusat kota. Ia harus menjadi gerakan sosial yang menyentuh petani di desa, santri di pesantren, guru di pelosok, dan nelayan di pesisir.
Energi bersih bukan hanya tentang mengganti bahan bakar, tetapi tentang membangun kemandirian, menciptakan keadilan, dan memberi ruang pada semua untuk tumbuh.
Kebijakan publik harus berpihak pada mereka yang telah bergerak lebih dulu. Pemerintah perlu segera menghentikan pembangunan PLTU baru, mempensiunkan pembangkit lama secara adil, dan membuka akses yang luas bagi masyarakat untuk mengembangkan energi terbarukan: melalui insentif, skema pembiayaan ringan, dan regulasi yang memberdayakan, bukan menghalangi.
Transisi menuju energi hijau bukan lagi pilihan, melainkan keharusan jika Indonesia ingin meraih visi Indonesia Emas 2045 yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Di tengah dominasi energi fosil dan tantangan kebijakan, generasi muda hadir sebagai harapan baru—dengan semangat, inovasi, dan kesadaran lingkungan yang kuat.
Namun, potensi ini hanya akan tumbuh jika didukung oleh keberpihakan negara melalui kebijakan yang adil, investasi yang tepat, dan keberanian untuk mengakhiri ketergantungan pada warisan energi kotor masa lalu. Masa depan yang lebih bersih dan lestari harus dibangun mulai hari ini.
Masa depan bukan hanya tentang pertumbuhan ekonomi, melainkan juga tentang udara yang kita hirup, air yang kita minum, dan bumi yang kita tinggali bersama.
Jika anak-anak muda sudah menyalakan obor harapan, bukankah sudah saatnya negara dan masyarakat memberi mereka jalan?
Oleh: Indra Gusnady, SE, M.Si