Lautan Cinta yang Berdarah
Bukittinggi-Ombak memukul dada malam,
langit menggulung sunyi, seolah turut meratapi nasibku yang karam.
Bintang pun enggan bersinar malam ini,
barangkali malu melihat aku mencintaimu sepenuh hati—dalam sunyi.
Aku berdiri di ujung dermaga harapan...
menggenggam angin, mencium bayangmu yang samar di seberang.
Kau terlalu megah untuk ku sentuh
terlalu tinggi di singgasana, sedang aku hanya serpih debu di bawah cahaya.
Langkahmu menjauh bagai layar yang enggan kembali ke pelabuhan,
sedang aku tetap di sini—menanti, dengan dada berlubang oleh kerinduan.
Kekasih.., namamu kusulam di setiap detak jantung,
meski darahnya asin, meski nadinya seringkali sakit menanggung.
Kutahu, cinta ini bukan untuk dikabulkan,
bukan pula untuk dibanggakan atau dipertontonkan.
Cinta ini adalah airmata yang tak bersuara,
adalah luka yang tak pernah kau tahu sedang kurawat setiap senja.
Aku mencintaimu dalam diam yang berisik,
dalam doa yang tak pernah habis,
dalam setiap denyut yang menggigil—
di balik senyumku yang palsu dan tertahan pilu.
Tiap riak laut menggores relung terdalam,
mengalir merah—darah yang kutumpahkan demi kesetiaan yang kau anggap angin lalu.
Namun aku tak beranjak,
aku tak menyerah,
karena mencintaimu sudah jadi caraku bertahan dari dunia yang membiru dan patah.
Angin membawa kabar kau bersinar di ruang rapat,
dengan jas gagah dan suara tegas membela rakyat.
Dan aku? Aku tetap jadi bayang,
yang bahkan tak cukup penting untuk disebut dalam catatanmu yang panjang.
Tapi tak mengapa…
karena bagiku, mencintaimu adalah bentuk tertinggi dari luka yang suci.
Aku tak ingin menjadi milikmu,
cukup menjadi bisik yang memelukmu di sepi yang tak pernah kau sadari.
Cinta ini berdarah—ya,
tapi tak akan mati.
Karena aku adalah luka yang memilih tetap hidup,
setia padamu… meski tak kau beri satu pun pelukan atau sehelai harap yang cukup.
Aku adalah hujan yang jatuh untukmu,
tak pernah kau hirau, tapi tak pernah berhenti mencumbu tanah demi langkahmu.
Aku adalah malam yang setia menunggu terang darimu,
meski tahu kau tak pernah menganggapku sebagai fajar yang layak datang di hidupmu.
Maka biarlah aku berdarah,
biarlah dadaku retak menahan cinta yang tak berlabuh,
asalkan aku tetap menjadi bagian kecil dari hidupmu,
meski hanya sebatas bayang di lorong waktu.
Karena bagiku, mencintaimu, kekasih..
adalah satu-satunya kebenaran yang masih bisa kutulis dengan sisa napas dan luka yang kupeluk setiap malam.
Lindafang, Juli nestapa 2025