PUNCAK - Kekejaman internal kembali mengoyak tubuh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kali ini, kelompok yang dipimpin oleh Kalenak Murib menjadi sorotan setelah terungkap tindakan brutal yang dilakukannya terhadap sesama anggotanya. Kalenak Murib, yang dikenal dengan kekejamannya, tidak hanya melakukan kekerasan fisik, namun juga membunuh anggota kelompok yang ia tuduh berselingkuh dengan istrinya serta mereka yang memilih kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Perpecahan dalam kelompok ini semakin terasa ketika sejumlah anggotanya mulai mengungkapkan pengalamannya. Amus Tabuni alias Woniage Tabuni, salah seorang anggota OPM yang melarikan diri, menceritakan dengan penuh ketakutan.
"Kami tidak tahu siapa yang akan menjadi korban berikutnya. Siapa pun yang berbeda pendapat atau ingin kembali ke NKRI langsung dicurigai dan disiksa. Bahkan, honai tempat kami tidur dibakar oleh Kalenak karena marah, " katanya, Jumat (20/06/2025).
Kisah ini mengungkapkan bagaimana kondisi internal OPM sangat tidak stabil. Ketegangan semakin memuncak akibat dugaan perselingkuhan antara salah satu anggotanya dengan istri Kalenak Murib. Namun, alih-alih menyelesaikan masalah dengan cara adat atau melalui dialog, Kalenak memilih jalan kekerasan yang mengarah pada penyiksaan dan pembunuhan brutal. "Dia tidak berpikir sebagai pemimpin, tetapi bertindak seperti binatang liar. Kami muak dan takut. Ini bukan perjuangan, ini sudah gila, " ungkap Amus Tabuni, yang akhirnya memilih untuk melarikan diri dari kelompok tersebut.
Tindakan keji Kalenak Murib tidak hanya melukai fisik, tetapi juga menghancurkan moral anggotanya. Beberapa anggota yang tidak tahan dengan kekerasan itu memilih untuk kabur dan mencari perlindungan pada Aparat Keamanan (Apkam). Amus Tabuni dan rekannya menyerahkan diri, melaporkan seluruh kekejaman yang dilakukan oleh Kalenak Murib, dan berharap pimpinan yang dianggap sangat meresahkan itu segera ditangkap.
“Kami sudah tidak tahan. Banyak dari kami yang bergabung dulu karena janji kemerdekaan, tapi yang kami dapatkan hanya rasa lapar, ketakutan, dan kematian dari sesama, ” tambah Amus Tabuni, yang kini berharap bisa mendapatkan kehidupan yang lebih aman.
Kisah tragis ini mencerminkan betapa rapuhnya internal kelompok separatis, di mana kekerasan dan ketakutan menjadi bagian dari keseharian anggotanya. Konflik internal ini menjadi pengingat bahwa perjuangan yang semula berbicara tentang kemerdekaan kini berakhir dengan kekejaman yang merusak dan mengorbankan banyak jiwa. (*/Red)