PEMERINTAHAN - Dalam sistem pemerintahan, seorang menteri memegang tanggung jawab besar dalam menentukan kebijakan yang berdampak langsung pada rakyat. Keputusan yang diambil tidak hanya mempengaruhi sektor yang mereka pimpin, tetapi juga mencerminkan kredibilitas pemerintahan secara keseluruhan. Oleh karena itu, kesalahan dalam menetapkan kebijakan bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele. Sekali salah, dampaknya bisa berlanjut ke keresahan publik, hilangnya kepercayaan, dan bahkan instabilitas sosial.
Di sinilah peran presiden menjadi krusial. Presiden bukan hanya sekadar kepala negara, tetapi juga pemimpin yang harus memastikan bahwa para pembantunya bekerja dengan baik. Jika ada seorang menteri yang berulang kali membuat keputusan keliru yang merugikan rakyat, tindakan yang paling masuk akal adalah menggantinya.
Membiarkan seorang menteri yang gagal tetap menjabat hanya akan memperburuk situasi. Lebih buruk lagi, jika setiap kali seorang menteri salah lalu presiden turun tangan membatalkan kebijakan tersebut, ini justru membentuk citra sebagai "pahlawan dadakan".
Padahal, dalam perspektif publik, itu tidak lebih dari "drama murahan" yang semakin memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Rakyat Indonesia sudah cerdas. Mereka bisa membedakan antara tindakan yang benar-benar berorientasi pada kepentingan publik dan sekadar permainan politik demi pencitraan.
Menteri yang Kebijakannya Meresahkan Rakyat
Beberapa menteri dalam kabinet saat ini telah menjadi sorotan publik akibat kebijakan dan tindakan mereka yang merugikan rakyat. Salah satunya adalah Erick Thohir, Menteri BUMN, yang di bawah kepemimpinannya hampir semua BUMN terseret dalam skandal korupsi besar.
Jika ditotal, kerugian negara akibat berbagai kasus di BUMN ini bahkan bisa dikategorikan sebagai "mega korupsi", dengan angka yang menembus lebih dari Rp1.000 triliun. Ironisnya, alih-alih membenahi perusahaan-perusahaan milik negara agar lebih transparan dan akuntabel, praktik korupsi justru semakin menjadi-jadi di bawah pengawasannya.
Contoh lainnya adalah Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang kebijakannya tentang subsidi LPG 3 kg menimbulkan keresahan di masyarakat. Kelangkaan gas melon ini menyebabkan antrean panjang yang bahkan berujung pada insiden tragis, di mana beberapa warga meninggal dunia karena kelelahan saat mengantre.
Ini bukan sekadar masalah teknis distribusi, tetapi menunjukkan kegagalan kebijakan yang mengabaikan realitas di lapangan. Ditambah lagi dengan skandal gelar Doktor yang ia peroleh dari Universitas Indonesia dengan cara yang tidak etis, semakin mengikis kepercayaan publik terhadap sosoknya.
Kasus terbaru yang memicu keresahan adalah kebijakan Menteri PANRB Rini Widyantini yang menunda pelantikan ASN dan PPPK. Para CASN dan PPPK yang sudah dinyatakan lulus banyak yang telah mengundurkan diri dari pekerjaan mereka sebelumnya dengan harapan segera dilantik.
Namun, akibat penundaan ini, mereka terkatung-katung dalam ketidakpastian, bahkan sebagian besar kini berada dalam posisi rentan sebagai pengangguran. Jika kebijakan seperti ini terus terjadi tanpa solusi yang jelas, maka kredibilitas pemerintah dalam mereformasi birokrasi akan semakin diragukan.
Solusi: Menteri Harus Kompeten atau Diganti
Tidak ada tindakan lain yang lebih pantas bagi menteri-menteri yang gagal ini selain "dipecat". Pemerintahan yang sehat membutuhkan pemimpin yang kompeten, profesional, dan bekerja untuk kesejahteraan rakyat, bukan sekadar memperkaya diri atau mempertahankan jabatan. Presiden sebagai kepala pemerintahan harus tegas dalam menindak menteri yang terbukti gagal dalam menjalankan tugasnya.
Jika setiap kebijakan yang dibuat oleh seorang menteri justru menambah penderitaan rakyat, apakah layak mereka tetap dipertahankan? Haruskah rakyat terus menjadi korban dari keputusan yang sembrono? Jika pemerintah serius ingin membangun kepercayaan publik, langkah pertama yang harus diambil adalah memastikan bahwa setiap menteri yang dipilih adalah orang yang benar-benar berkompeten, bukan sekadar loyalis atau pemain politik.
Rakyat Indonesia tidak bodoh. Mereka mencatat, mengingat, dan pada akhirnya akan menentukan sikap. Pemerintah harus belajar bahwa zaman di mana rakyat bisa dibohongi dengan pencitraan dan drama murahan telah berakhir. Kini, yang dibutuhkan adalah pemerintahan yang benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Jakarta, 11 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi